hari
jam
menit

29 hari menuju 

Lead The Fest 2023

YAKIN PEREMPUAN BISA MEMIMPIN?

Bagikan ke

Sumber : Markus Winkler – Unsplash.com

Mari kita mulai tulisan ini dengan sebuah teka-teki.Budi dan ayahnya sedang dalam perjalanan menggunakan mobil. Tiba-tiba mobil mereka mengalami kecelakaan dan ayah Budi terluka cukup parah, sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Sesampainya di meja operasi, dokter yang harusnya menangani ayah Budi mendadak berkata, “Saya tak bisa mengoperasi orang ini; dia adalah anak saya!”

Coba tebak apa yang sedang terjadi di sini. Siapakah dokter ini sebenarnya?

BEGINILAH PERSEPSI MASYARAKAT KITA

Jika Anda menebak bahwa dokter tersebut adalah ibu dari bapaknya Budi, Anda termasuk dalam golongan yang cukup langka. Menurut aktivis kepemimpinan perempuan Alexis Kanda-Olmstead dalam sebuah TED Talk, tidak banyak partisipan penelitian yang berhasil menebaknya dengan tepat. Misalnya, hanya sekitar 14% dari 200-an mahasiswa Boston University yang tepat jawabannya. Kanda-Olmstead berargumen bahwa ini disebabkan oleh mindset yang mengasosiasikan profesi dengan gender tertentu. Profesi dokter bedah biasanya terkesan lebih sering dilakukan oleh laki-laki ketimbang perempuan. Maka dari itu, mayoritas partisipan yang diteliti menggunakan teka-teki di atas meleset dalam menebak dokter bedahnya ternyata seorang perempuan. Kecenderungan ini bahkan turut berlaku pada para perempuan sendiri.

Asosiasi antara gender dengan profesi memang sudah lumrah diketahui. Bahkan, kecondongan memilih cita-cita berdasarkan gender telah muncul sejak dini. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh LinkedIn pada 8.000 profesional secara global (termasuk Indonesia), laki-laki dan perempuan memiliki cita-cita yang berbeda di masa kecilnya. Profesi yang paling diidam-idamkan anak lelaki ternyata adalah atlet, kemudian diikuti oleh pilot, ilmuwan, pengacara, dan astronot. Bagi perempuan, guru adalah profesi yang paling difavoritkan. Setelah itu ada dokter hewan, penulis, dokter/perawat, dan penyanyi.

Mindset mengenai gender ini tidak hanya berdampak pada jenis profesi yang khas bagi gender tertentu. Status sosial pun menjadi salah satu area yang terdampak. Dalam hal ini, peran kepemimpinan biasanya dipersepsi sebagai posisi yang eksklusif bagi laki-laki. Penelitian dari Universitas Sebelas Maret pada konteks masyarakat Jawa, misalnya, menunjukkan bahwa terdapat preferensi atas sosok pemimpin yang berciri maskulin ketimbang feminin. Besar kemungkinan persepsi ini dibangun di atas sejarah kepemimpinan di Jawa yang didominasi laki-laki, menurut peneliti.

KONDISI PEMIMPIN PEREMPUAN

Tentu saja, persepsi yang berkembang di masyarakat mengenai gender dan fungsi sosial akhirnya membentuk sebuah realitas di lapangan, khususnya area kepemimpinan. Pemimpin perempuan lantas lebih rentan mengalami stres ketimbang pemimpin laki-laki, seperti yang dilaporkan oleh American Psychological Association. Meski perempuan memang secara neurologis lebih sensitif terhadap rangsangan adrenalin yang menyebabkan stres, tekanan sosial tetap jadi faktor primernya.

Mari lihat contoh nyata tekanan sosial tersebut dari Putri Kanesia, Kepala Divisi Sipil dan Politik KontraS 2014-2016. Kini Putri menjabat sebagai Wakil Koordinator Bidang Advokasi, tetapi pengalamannya saat menjadi kepala divisi bisa jadi ilustrasi yang relevan. Selama memimpin, Putri pernah dibayangi keraguan dari orang-orang di luar kantornya karena belum menikah. Perempuan, secara kultural, memang diharapkan menjadi “manajer” dalam kehidupan berumah tangga. Setelah itu, barulah seorang perempuan dianggap terbukti mampu memimpin. “Emang lo bisa jadi pimpinan? Kan lo belum berkeluarga, belum bisa membawahi,” begitu ungkapan yang pernah dihadapi Putri. Tidak hanya itu, dalam beberapa kesempatan berjejaring, kemampuan Putri pernah dipertanyakan karena isu yang ditanganinya dianggap hanya dipahami oleh laki-laki. Sebagai perempuan, dia dianggap tidak mampu menanganinya.

Situasi yang kurang lebih serupa juga dialami oleh Executive Director Indorelawan, Marsya Nurmaranti. Bagi perempuan yang akrab dipanggil Asa ini, memimpin di pucuk organisasi merupakan kesempatan yang benar-benar baru baginya. Walau terhitung sebagai prestasi, posisi tersebut malah membuat Asa cemas. Dia kebingungan, sebab merasa tidak mempunyai role model perempuan yang dapat membimbingnya menjalani peran barunya sebagai pemimpin. Maka, kecemasan ini pun berujung pada stres dan akhirnya memengaruhi kepercayaan diri Asa dalam memimpin.

STEREOTYPE THREAT DAN LEADERSHIP EFFICACY PADA PEMIMPIN PEREMPUAN

Berada dalam posisi Putri dan Asa memang tidak mudah. Masing-masing mengalami kendala yang berorientasi pada gender sebagai perempuan. Masalahnya, mereka tidak hanya berdua. Masih amat banyak pemimpin perempuan lainnya di luar sana yang juga mengalami hal yang sama, atau bahkan lebih parah. Apa yang menyulitkan perempuan untuk bisa menjadi seorang pemimpin? Jawabannya tentu amat kompleks, sebab melibatkan telaah sosiokultural dan historikal yang panjang. Meski demikian, dengan asumsi bahwa secara umum perempuan sering mendapatkan stereotip negatif dari lingkungan ketika hendak memimpin, kita bisa berfokus pada konsekuensi psikologisnya. Biasanya, secara psikologis pemimpin perempuan harus mempertahankan leadership efficacy mereka demi menjaga diri dari stereotype threat.

Grafik 1. Kepercayaan diri atas kemampuan memimpin (leadership efficacy) bisa menjadi jembatan dari hubungan antara perasaan terancam atas stereotip (stereotype threat) dengan performa memimpin (Hoyt & Blascovich, 2007).

Stereotype threat adalah persepsi subjektif dari seseorang yang tergolong dalam sebuah kelompok yang menjadi target sebuah stereotip. Gender bisa jadi salah satu contoh kelompok yang dimaksud. Dalam konteks jabatan pemimpin, seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, perempuan cenderung mendapatkan stereotip negatif. Mereka dianggap kurang maskulin, sehingga kekurangan ketegasan dan keberanian ala laki-laki. Namun, stereotip negatif sebetulnya bisa saja tidak memengaruhi seseorang selama dia tidak mengindahkannya. Di sinilah leadership efficacy, yakni kepercayaan diri seseorang atas kemampuannya dalam memimpin, mengambil peran. Jika seorang perempuan yang ditimpa stereotip ternyata memiliki leadership efficacy yang rendah, dia akan terpengaruh oleh stereotip yang berseliweran di sekitarnya. Dengan kata lain, dia akhirnya merasakan adanya stereotype threat. Dia merasa bahwa stereotip tersebut mengancam kualitas dirinya dan perlahan-lahan mengganggu performanya dalam memimpin. Mekanisme hubungan antara faktor-faktor ini telah dibuktikan secara empiris melalui penelitian oleh Hoyt dan Blascovich dalam artikel berjudul “Leadership Efficacy and Women Leaders’ Responses to Stereotype Activation”.

Misalnya, seorang pemimpin perempuan bernama Martha dianggap terlalu cerewet di kantor. Para bawahannya mengambinghitamkan gender bosnya sebagai faktor yang membuatnya cerewet. Menurut KBBI, “konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat” seperti ini merupakan sebuah stereotip. Maka, Martha yang dari awal sebetulnya sudah tidak yakin dengan kemampuannya dalam memimpin (leadership efficacy-nya rendah) langsung merasa terancam atas stereotip tersebut. Performa Martha sebagai pemimpin jadi menurun, sebab dia menjaga diri untuk tidak terlalu cerewet dan akibatnya menahan diri untuk memberi masukan yang konstruktif. Ini menandakan Martha telah menjadi korban atas stereotype threat yang dia persepsi secara subjektif.

PENUTUP
Sumber : BBH Singapore – Unsplash.com

Dalam artikel aslinya, Hoyt dan Blascovich menjelaskan lebih lanjut dampak yang berpotensi muncul ketika performa pemimpin perempuan turun akibat stereotype threat. Penelitian mereka berhasil membuktikan bahwa kondisi ini dapat membuat perempuan merasa bahwa mereka sama sekali bukanlah seorang pemimpin. Kemudian, ditemukan juga penurunan dalam self-esteem, yaitu seberapa jauh mereka menghargai diri mereka sendiri. Terakhir, penurunan performa tersebut juga bisa memprediksi kecenderungan merasa depresi.

Akan tetapi, kemungkinan buruk tersebut bisa dihindari dengan menjaga leadership efficacy dalam diri pemimpin perempuan. Sebagai penengah, leadership efficacy adalah penentu dalam hubungan stereotip dan segala dampak buruknya. Jika leadership efficacy tinggi, dampak buruk bisa dikurangi. Jika rendah, dampak buruk bisa menghantui. Leadership efficacy lantas menjadi jawaban dari kesulitan yang dialami perempuan ketika hendak memimpin. Tentu faktor sosiokultural ikut berkontribusi pada rendahnya keyakinan diri perempuan atas kemampuannya dalam memimpin, tetapi temuan ini tidak jadi serta merta tak berharga. Setidaknya, dengan memfokuskan diri pada leadership efficacy, para perempuan dapat memprioritaskan diri untuk meyakini dirinya sendiri dalam memimpin. Akhirnya, seperti yang dialami oleh Martha dan Asa, meyakini diri sendiri membantu mereka untuk mencari dukungan dari orang-orang yang signifikan dan membuktikan pada semua orang yang tak yakin: perempuan pun juga bisa memimpin.

Tulisan dibuat oleh: Tim pemimpin.id bersama Marsya Nurmaranti (Direktur Indorelawan)

REFERENSI

Citraningrum, P. (2016). Komunikasi dan persepsi mengenai perempuan dalam masyarakat Jawa: Peran komunikasi sebagai pembentuk persepsi mengenai kepemimpinan perempuan dalam masyarakat Jawa. Jurnal Komunikasi Massa. Retrieved 1 July 2020, from http://www.jurnalkommas.com/docs/JURNAL%20Prita%20Permatasari%20C%20(D0211080)%20(1).pdf.

Hannah, S. T., Avolio, B. J., Luthans, F., & Harms, P. D. (2008). Leadership efficacy: Review and future directions. The Leadership Quarterly, 19(6), 669-692.

Hoyt, C., & Blascovich, J. (2007). Leadership efficacy and women leaders’ responses to stereotype activation. Group Processes & Intergroup Relations, 10(4), 595-616. https://doi.org/10.1177/1368430207084718

Maeng, L., & Milad, M. (2015). Sex differences in anxiety disorders: Interactions between fear, stress, and gonadal hormones. Hormones and Behavior, 76, 106-117. https://doi.org/10.1016/j.yhbeh.2015.04.002

Spencer, S. J., Logel, C., & Davies, P. G. (2016). Stereotype threat. Annual Review of Psychology, 67, 415-437.

Tedx Talks. (2018). The science of women’s leadership | Alexis Kanda-Olmstead | TEDxCSU [Video]. Retrieved 1 July 2020, from https://www.youtube.com/watch?v=FVzHBWoIGEw.

Wallace, C. (2015). Women leaders feel under more stress in the workplace. Ft.com. Retrieved 1 July 2020, from https://www.ft.com/content/b29bb322-fa4b-11e4-a41c-00144feab7de.

Williams, N. (2012). Locking down your dream career [INFOGRAPHIC]. LinkedIn Blog. Retrieved 1 July 2020, from https://blog.linkedin.com/2012/11/15/dream_jobs.

Pemimpin.ID
Author: Pemimpin.ID

Pemimpin.id adalah sebuah Gerakan Pemberdayaan Kepemimpinan Indonesia melalui konten dan program kreatif.

Follow us