Banyak orang tampaknya merasa lega setelah mendengarkan #gebrakannadiem untuk pendidikan Indonesia, meski ada juga yang menilai kebijakan itu terlalu buru-buru. Yang pasti, ada sebuah kebebasan yang akan dirasakan oleh guru, kepala sekolah, orang tua, serta peserta didik dalam menjalani proses pendidikan di daerahnya masing – masing.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim akhirnya memberikan keleluasaan bagi setiap sekolah untuk menyelanggarakan Ujian Nasional (UN) yang fokus pada Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
Kebijakan itu adalah salah satu dari empat kebijakan, selain Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB yang dikeluarkan oleh Kemendikbud di Kabinet Indonesia Maju.
Selama ini, UN dinilai terlalu fokus pada kemampuan menghafal dan membebani siswa, orang tua, serta guru. Tak hanya itu, aspek – aspek dalam UN dirasa tidak menyentuh kemampuan pengembangan kognitif dan karakter siswa.
UN tampak jelas membebani siswa. Ini tampak dari bagaimana siswa “cari aman” dengan menyediakan kertas contekan saat ujian berlangsung.
Ya, alih-alih bisa lebih mengembangkan kognitif siswa, praktek UN selama ini justru memicu terciptanya kecurangan yang jauh dari nilai – nilai karakter baik. Tak heran jika pada akhirnya sekolah dikatakan sebagai tempat menyemai benih korupsi.
Tak hanya siswa, praktek UN terdahulu pun secara tidak langsung ikut menghasut para guru dan kepala sekolah berbuat curang dengan cara terselubung. Bagaimana tidak? Setiap sekolah tentu berlomba-lomba agar anak didiknya bisa mencetak hasil terbaik dan lulus 100%.
Semakin baik hasil UN para peserta didik, semakin tinggilah gengsi yang didapat oleh pihak sekolah. Hasil UN juga kerap dijadikan salah satu syarat yang harus dipenuhi siswa untuk melanjutkan ke pendidikan tingkat lanjut.
Dengan begitu, semua orang berlomba-lomba untuk dapat mencapai target angka yang diharapkan. Siapa juga yang mengira kalau proses itu penting, kalau hasil akhir berupa angka nyatanya jauh lebih genting. Begitulah kira-kira UN memainkan perannya dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Tanda-tanda tentang UN yang kurang memberdayakan kepala sekolah, guru, orang tua, pun peserta didik sebenarnya sudah tampak sejak lama. Beruntung, jika pada akhirnya kesadaran ini menggerakan pemerintah untuk segera mengambil tindakan.
Nadiem, lewat kebijakan penyederhanaan UN sebenarnya ingin membuat sistem penilaian baru, melalui asesmen kompetensi minimum dan survei karakter yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), serta penguatan pendidikan karakter.
Nantinya, ujian dapat dilakukan dalam bentuk tes tertulis atau bentuk lain yang lebih komprehensif, seperti portofolio dan penugasan, karya tulis, dan bentuk project lainnya.
Dengan begitu, kepala sekolah dan guru akan lebih leluasa untuk melakukan inovasi dalam kegiatan belajar mengajar. Mereka juga punya ruang untuk fokus pada kompetensi siswa dengan tetap memberikan sentuhan nilai dan pendidikan karakter yang lebih kontekstual.
Harapannya, guru dan kepala sekolah tidak menyia-nyiakan ‘kebebasan’ ini. Kebijakan ini membuat guru dan kepala sekolah punya lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan kompetensinya, karena mereka tidak lagi disibukan dengan seabrek administrasi.
Kendati begitu, pengawasan dan kontrol atas kebebasan ini harus terus dilakukan agar kebebasan yang dilakukan tetap pada koridor yang sesuai hingga bisa tepat sasaran.
Author: Pemimpin.ID
Pemimpin.id adalah sebuah Gerakan Pemberdayaan Kepemimpinan Indonesia melalui konten dan program kreatif.