Kita bisa mulai dengan pertanyaan sederhana, moda transportasi mana yang lebih rawan kecelakaan, apakah mobil atau pesawat terbang?
Sebetulnya, tidak sedikit berita kecelakaan moda transportasi di Indonesia, mulai dari tragedi Sukhoi yang menabrak gunung, hingga jatuhnya armada Boeing milik Lion Air. Dari kejadian tersebut, moda transportasi udara tampak lebih berbahaya. Padahal, jika melihat data yang ada, perjalanan darat jauh lebih berbahaya ketimbang perjalanan udara.
Ada 1 kecelakaan dalam setiap 114 perjalanan darat menggunakan mobil. Angka tersebut relatif lebih banyak daripada tragedi kecelakaan pesawat yang hanya ada 1 kasus dalam 9.821 penerbangan.
Mungkin mengejutkan, sebab tidak sedikit orang yang takut naik pesawat. Sebaliknya, mengendarai mobil dinilai sebagai sesuatu yang tidak semenyeramkan naik pesawat. Betul begitu, bukan? Pertanyaanya, mengapa kita cenderung untuk menangkap kesan yang berkebalikan dengan fakta?
Manusia: Tempatnya Salah dan Masalah
Banyak penelitian psikologi yang telah menunjukkan bahwa proses berpikir kita sangat rentan dipengaruhi bias. Bias adalah kecondongan subjektif terhadap seseorang atau sesuatu. Sebagian besar, bias tersebut terjadi karena proses berpikir yang dituntun oleh asumsi. Meski kadang bermanfaat dalam situasi genting, asumsi sebenarnya merupakan biang keladi dari hampir seluruh kesesatan dalam berpikir.
Penasaran apa saja contoh bias berpikir yang mungkin menjebak kita? Berikut ini adalah beberapa contoh yang mungkin saja pernah atau bahkan sering kita lakukan sehari-hari:
- Mengabaikan pengaruh situasi dalam menilai seseorang (fundamental attribution error)
Kita sering menilai seluruh dimensi kepribadian seseorang hanya dengan bekal sedikit sampel dari tingkah lakunya dalam suatu momen tertentu. Misalnya, kita bisa menyangka bahwa seseorang yang menekan-nekan klaksonnya dengan garang di jalan pasti bertabiat kasar. Padahal, bisa jadi dia sedang buru-buru untuk menjenguk ibunya yang mendadak masuk rumah sakit.
- Menghakimi keseluruhan kelompok berdasarkan atribut salah satu bagiannya saja (representativeness heuristics)
Kita sering melakukan kesalahan berpikir ini kepada golongan-golongan selain kita: orang Minang biasanya pelit, orang Batak biasanya galak, orang Cina biasanya ambisius, mahasiswa PTN biasanya pintar. Asumsi-asumsi ini disebut stereotip dan mewarnai banyak proses berpikir kita mengenai dunia. Stereotip belum tentu benar, bahkan kemungkinan besar salah.
- Hanya mencari bukti yang dapat menguatkan argumen pribadi, sekaligus mengabaikan bukti yang melemahkan (confirmation bias)
Sering tidak kita sadari, tapi kita sebetulnya cenderung selalu mencari bukti yang sesuai dengan selera kita saja. Politisi di televisi sangat sering memperlihatkan kecenderungan manusiawi ini. Dalam contoh pilpres antara pasangan 01 dan 02 tahun lalu, misalnya, segamblang apapun informasi mengenai pencapaian pemerintah tidak akan pernah tampak meyakinkan di mata kubu 02. Sebaliknya, sejernih apapun kesalahan-kesalahan pemerintah yang dijabarkan tidak akan pernah diamini oleh kubu 01.
Solusi untuk Memerangi Bias
Bias yang mengandung asumsi sering jadi salah satu cara manusia untuk memahami realitas. Namun, asumsi tidak dapat diandalkan, sehingga manusia membutuhkan alat lain untuk menjangkau realitas di sekitarnya, yakni bersikap skeptis.
Caranya mudah saja, tinggal menganggap bahwa kemungkinan besar kita salah dalam mengasumsikan apapun. Dengan begitu, kita akan terdorong untuk mengkritisi setiap asumsi yang lahir dari pikiran kita sendiri.
Untuk membuktikan bahwa kita benar, lantas kita perlu mencari bukti yang kuat di luar diri kita. Bisa dari internet, buku, jurnal ilmiah, orang yang ahli, ensiklopedia, dan sejenisnya. Merepotkan? Iya. No pain, no gain.
Contohnya, jika kamu tiba-tiba merasa yakin bahwa teman dekatmu membicarakanmu di belakang, cobalah untuk menghela napas sejenak. Ragukanlah dirimu. Buktikan bahwa asumsimu salah dengan cara bertanya kepada orang-orang yang kamu curigai.
Carilah bukti bahwa, “Sebagai teman, mereka pasti selalu membicarakan hal yang baik tentangku, ‘kan?” Pada akhirnya, jika kamu gagal membantah asumsimu sendiri, barulah kamu boleh mempercayai asumsi tersebut.
Sebagai penutup, kita mungkin bisa belajar banyak tentang cara memerangi asumsi pribadi kita lewat seorang filsuf Prancis yang skeptisnya setengah mati, René Descartes.
“Misalkan [seseorang] memiliki keranjang penuh apel dan, karena khawatir beberapa apel busuk, ingin mengeluarkan yang busuk untuk mencegah pembusukan yang menyebar. Bagaimana dia akan melakukannya? Tidakkah dia akan mulai dengan membuang seluruhnya dari keranjang? Dan bukankah langkah selanjutnya adalah memeriksa setiap apel secara bergantian, dan hanya apel yang terlihat sehat yang diambil dan dikembalikan ke dalam keranjang, sehingga meninggalkan yang lainnya?
Dengan cara yang sama, mereka yang tidak pernah berpikir dengan benar memiliki berbagai pendapat di benak mereka yang telah mereka simpan sejak kecil, dan karena itu mereka memiliki alasan untuk percaya bahwa dalam banyak kasus mungkin [mereka] salah. Mereka kemudian berusaha untuk memisahkan kepercayaan yang salah dari yang lain, untuk mencegah mereka mencemari sisanya dan membuat semuanya menjadi tidak pasti.
Sekarang cara terbaik yang dapat mereka lakukan untuk ini adalah menolak semua kepercayaan mereka sekaligus, seolah-olah mereka semua tidak pasti dan salah. Mereka kemudian dapat mengubah masing-masing kepercayaan secara bergiliran dan mengadopsi kembali hanya yang mereka anggap benar dan tidak dapat dibantah.”
René Descartes