Pendidikan pun menjadi salah satu aktor yang ikut bermain dalam realita itu. Tanpa sadar, anak sekolah dididik bukan lagi untuk menemukan pemahaman akan nilai moral. Mungkin ada, tapi bukan yang utama. Sistem pendidikan pada akhirnya berhasil membentuk manusia – manusia yang sangat sibuk.
Semua sibuk menjadikan sekolah yang dipimpinnya terpandang. Anak-anak sibuk mencetak nilai tinggi di sekolah, karena dengan nilai tinggilah mereka bisa naik kelas, mendapat ijazah, lulus, dan bekerja sehingga bisa menghasilkan uang. Pun orang tua menaruh harapan dan ekspektasi yang tinggi kepada anak – anak mereka. Semakin besarlah beban yang harus ditanggung anak muda, tanpa anak-anak ini sadar, mengapa mereka harus mengejar itu semua?
Sekolah dan lembaga pendidikan disibukan dengan kurikulum yang begitu padat. Yang mereka tahu hanyalah terus berkompetisi, bersaing, dan menjadi terbaik, tanpa peduli kejujuran, tanpa menghargai proses.
Ini bisa semakin membahayakan jika anak-anak tidak dibiasakan untuk bisa memaknai sebuah kekalahan atau kegagalan dengan baik. Begitulah kira-kira sistem pendidikan mengambil perannya untuk menumbuhkan karakter – karakter perilaku koruptif.
Mengutip Harian Kompas edisi 10 Desember 2019, Ketua Prgram Studi Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Herry Priyono mengatakan, persoalan korupsi yang mengakar saat ini adalah dampak dari minimnya pendidikan antikorupsi sejak dini. Selama ini, upaya pemberantasan korupsi lebih banyak fokus pada aspek penegakan hukum dan kurang melibatkan para pendidik untuk pencegahan.
Baca juga : Apa Kabar Pendidikan Antikorupsi di Indonesia?
“Seluruh perdebatan soal perubahan sistem itu sebatas jargon besar. Karena jika undang-undang dan sistem birokrasi dibenahi, tetapi kualitas para politisi dan warga tidak digarap, tidak akan kemana-mana,”
ujar Herry Priyono seperti dikutip dari Harian Kompas.
Penyisipan materi antikorupsi pun seharusnya bukan sesuatu yang berupa teori, ceramah atau kurikulum, melainkan sudah masuk dalam berbagai macam tindakan dan refleksi. Beberapa sekolah sudah menerapkan hal ini, seperti misalnya dengan membuat koperasi kejujuran dan mengevaluasi hasil tindakan mereka.
Merayakan Hari Antikorupsi Sedunia, tiga menteri Kabinet Indonesia Maju memainkan drama #PrestasiTanpaKorupsi sebagai anak sekolah. Mereka adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama, serta Menteri BUMN, Erick Thohir.
Adegan mereka sangat menarik dan menyentil kehidupan kita, baik sebagai anak sekolah ataupun tokoh masyarakat yang terkadang tidak sadar kalau ternyata yang dilakukannya adalah tindakan Korupsi, Kolusi atau Nepotisme (KKN).
Peran ketiga menteri tersebut dibantu oleh komedian Tanah Air, yakni Sogie Indarduaja serta Bedu. Sogie sebagai anak kelas X saat itu ingin menraktir Nadiem jajan bakso dengan menggunakan uang kas. Nadiem pun menolak dan melarang Sogie untuk tidak menggunakan uang yang bukan miliknya. Ini adalah contoh sederhana tentang bagaimana seorang terdidik bisa memiliki #PrestasiTanpaKorupsi.
Membiasakan nilai – nilai kejujuran di sekolah dalam cara apapun bisa menjadi alternatif pembelajaran untuk memanamkan benih antikorupsi dalam diri anak sekolah.
Menurut kamu, sejauh mana hal itu efektif untuk menekan tumbuhnya budaya korupsi di Indonesia?
Kamu bisa berbagi gagasan tentang korupsi dan tema-tema kepemimpinan dengan mengirimkan tulisanmu di
https://pemimpin.id/kirimgagasan/
Dengan berbagi gagasan dan tulisan, kamu bisa turut membangun Indonesia. Jadi tunggu apa lagi? Ayo menulis!
Author: Pemimpin.ID
Pemimpin.id adalah sebuah Gerakan Pemberdayaan Kepemimpinan Indonesia melalui konten dan program kreatif.