Selamat hari Guru!
Ungkapan itu membanjiri lini media sosial pun media massa yang menyediakan halaman khusus bagi kolumnis. Tidak sedikit kalangan yang memberikan apresiasi atas daya juang guru yang tiada habisnya. Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim pun sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat seorang guru. Beginilah kira-kira petikan pidato tersebut:
Guru Indonesia yang Tercinta, tugas Anda adalah yang termulia sekaligus yang tersulit. Anda ditugasi untuk membentuk masa depan bangsa, tetapi lebih sering diberi aturan dibandingkan dengan pertolongan.
Anda ingin membantu murid yang mengalami ketertinggalan di kelas, tetapi waktu Anda habis untuk mengerjakan tugas administratif tanpa manfaat yang jelas.
Anda tahu betul bahwa potensi anak tidak dapat diukur dari hasil ujian, tetapi terpaksa mengejar angka karena didesak berbagai pemangku kepentingan.
Anda ingin mengajak murid keluar kelas untuk belajar dari dunia sekitarnya, tetapi kurikulum yang begitu padat menutup pintu petualangan.
Anda frustasi karena Anda tahu bahwa di dunia nyata kemampuan berkarya dan berkolaborasi akan menentukan kesuksesan anak, bukan menghafal.
Anda tahu bahwa setiap anak memiliki kebutuhan berbeda , tetapi keseragaman telah mengalahkan keberagaman sebagai prinsip dasar birokrasi.
Anda ingin setiap murid terinspirasi, tetapi Anda tidak diberi kepercayaan untuk berinovasi
Fakta-fakta tersebut saat ini sudah menjadi rahasia umum yang tampaknya terabaikan begitu saja. Namun, semua itu dimunculkan kembali kepada khalayak, ketika Nadiem merangkai kata-kata dalam pidatonya di hari guru. Sebuah momentum tepat untuk merefleksikan sosok guru dan perjuangannya, bukan hanya dalam mendidik anak-anak, tetapi juga untuk mendapat kesejahteraan yang layak.
Alih-alih bicara tentang target nilai bagi anak-anak didik, pendidikan semestinya dimaknai sebagai akar dari terbentuknya karakter dan nilai-nilai moral perserta didik. Dan benar, apa yang disampaikan oleh Nadiem dalam pidatonya, tugas guru kian berat karena menjadi tumpuan harapan pemangku kepentingan.
Para guru kini kehilangan fokusnya untuk mencapai tujuan tertinggi dari pendidikan karena larut dalam kesibukan yang sebenarnya bersifat administratif. Semua yang bersifat administratif itu biasanya tak lepas dari sesuatu yang bersifat pragmatis, misal kenaikan pangkat, tunjangan, dan apapun yang akan berpengaruh pada kesejahteraan para guru. Siapa pula yang tidak ingin mendapatkan itu semua? Gaji guru yang minim tentu menjadi pertimbangan bagi mereka untuk serius menata administrasinya secara baik.

Fenomena itu saya amati secara langsung ketika melakukan kegiatan kerelawanan di sebuah pulau terpencil di Kecamatan Pulau Masela, Kabupaten Maluku Barat Daya. Beruntung saya mendapat pengalaman untuk menjadi seorang guru relawan di sebuah SD yang ada di salah satu desa. Sekolah tersebut memiliki satu kepala sekolah PNS yang saat ini sudah pensiun, dua guru PNS, serta dua guru honorer dan saya.
Kuantitas guru yang terbatas, membuat kami harus selalu siap jika harus merangkap dua sampai tiga kelas. Hal yang mengusik adalah ketika para guru PNS meninggalkan jam mengajar dan sibuk menyelesaikan administrasi di kantor.
“Besok ada kapal masuk, jadi katong harus selesaikan akang hari ini supaya bisa titip di kapal (Besok ada kapal masuk, jadi kita harus selesaikan semua administrasi itu hari ini agar bisa titip di kapal),” ujar salah seorang guru PNS ketika saya bertanya mengapa tidak mengajar.
Anak-anak ramai berlari kesana dan kemari karena kelas kosong, tidak ada yang mengajar. Saya dan satu orang guru honorer lantas melakukan pembagian kelas rangkap untuk ‘menemani’ anak-anak di kelas. Diksi menemani memang pantas untuk disematkan dalam kalimat itu, karena memang faktanya kami menemani anak-anak, mendengarkan mereka bercerita, mengajak mereka bernyanyi agar supaya mereka tetap tenang.

Boro-boro mengikuti kurikulum yang padat dan berat, kami justru masih berpikir bagaimana anak-anak mau datang ke sekolah dengan suasana yang menyenangkan. Tidak mudah bagi kami, para guru di Maluku pun anak-anak didik mengikuti seabrek kurikulum yang disediakan oleh pusat. Biasanya, kami melakukan cara kreatif, misal belajar di alam untuk mengenalkan mereka pada bagian tanaman atau membuat permainan untuk memudahkan mereka mengenal ilmu hitung.
Baca juga : Gaji Guru Indonesia Masih ‘Malu’ Bersaing
Dalam beberapa hal, kami merasa kurikulum kurang memahami apa yang menjadi kebutuhan anak-anak sekolah di daerah perbatasan Indonesia. Saya pribadi terkadang merasa prihatin ketika melihat guru PNS memaksakan anak-anak untuk mengejar kurikulum hanya untuk memenuhi target. Semakin sesuai target, semakin lancarlah mereka memberi tanda centang pada setiap form administrasi yang disodorkan kepada mereka setiap berapa bulan sekali. Faktanya, anak-anak tidak sepenuhnya mampu mengikuti kurikulum tersebut, apalagi jika harus diajarkan dengan waktu yang singkat.
Pidato Nadiem sejatinya memberikan harapan bagi para guru di Indonesia. Semua kata-kata yang terangkai secara apik seolah mencerminkan bahwa pemerintah sangat memahami kondisi guru dan perjuangannya untuk mendapat dua hal di atas, mendidik anak bangsa dan ketenangan mengajar tanpa perlu memusingkan kesejahteraan.
Pertanyaannya kemudian, setelah pidato itu, langkah konkret apa yang akan dibuat oleh Kemendikbud untuk membantu mengembangkan kualitas guru di Indonesia? Setidaknya, Nadiem sempat menyelipkan pesan kepada para guru untuk menciptakan perubahan kecil :
- Ajaklah kelas berdiskusi, bukan hanya mendengar
- Berikan kesempatan kepada murid untuk mengajar di kelas
- Cetuskan proyek bakti sosial yang melibatkan seluruh kelas
- Temukan suatu bakat dalam diri murid yang kurang percaya diri
- Tawarkan bantuan kepada para guru yang sedang mengalami kesulitan
Publik jelas menunggu aksi nyata dari hasil dari awareness terhadap kondisi para guru di Indonesia ini. Tentu, dukungan semua pihak sangat diperlukan untuk menciptakan iklm pendidikan Indonesia yang jauh lebih baik. Sebagaimana diketahui, kualitas pendidikan di Indonesia adalah tanggung jawab orang-orang terdidik.
