Pemimpin Normal Baru: Berwawasan Adaptasi, Berkapasitas Resiliensi

Bagikan ke

Dalam tulisan sebelumnya,  Pemimpin, Selamat Datang ke Normal Baru McCloskey (2014) mengatakan, kepemimpinan normal baru telah datang menggantikan narasi dan mitos kepemimpinan normal lama seperti kepemimpinan karismatik dan kompetensi teknis-manajerial. Kemunculan kepemimpinan normal baru disebabkan lautan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya,  pertemuan peristiwa-peristiwa ekstrem, berdampak secara kumulatif menciptakan lanskap kepemimpinan baru. Normal baru memunculkan kepemimpinan sebagai sistem yang mampu beradaptasi dengan kompleksitas yang tidak lagi berfokus kepada sosok yang membawa mitos kepemimpinan.

Menurut Complexity Theory (CT), kepemimpinan strategis dalam lingkungan yang bergerak cepat berfungsi untuk menyelaraskan lingkungan dan organisasi dengan cara meningkatkan kemampuan organisasi beradaptasi, berinovasi dan menjadi lebih sehat. Kepemimpinan strategis adalah berinteraksi secara efektif dengan kekuatan-kekuatan yang saling mempengaruhi lingkungan dan organisasi yang kompleks untuk memungkinkan lingkungan menjadi fit dan organisasi adaptif. Pemimpin berperan untuk memungkinkan dan memunculkan jejaring bertujuan mengelola ceruk lingkungan agar organisasi dapat berkembang, dan memungkinkan organisasi untuk berfungsi secara efektif dan adaptif dalam ceruk tersebut (Marion dan Uhl-Bien, 2007).

Mitos Pemimpin Karismatik dan Kompetensi Manajerial-Teknikal

Pemimpin karismatik, herois, atau inspirasional adalah sekelompok kecil manusia yang memiliki DNA kepemimpinan yang baik, yang disebut sebagai karisma. Karisma adalah kualitas khusus yang melekat dalam kepribadian pemimpin  yang membangun popularitas, kesetiaan dan pengabdian. Berasal dari bahasa Yunani, charis, bermakna “anggun, indah, dan baik”.  Pemimpin karismatik dianggap sangat menarik dengan kepribadian yang kuat. Mereka hadir sebagai idola.

Pemimipin karismatik dapat menjadi mitos karena (1) tidak efektif dalam urusan rutin (harian) dan seringkali tidak menuntaskan urusan tersebut walaupun  mengawaliya dengan mengesankan dan (2) kuat dalam gagasan tapi lemah dalam pelaksanaan. Dalam kenyataannya, karakter/perilaku menonjol pemimpin karismatik yang dikagumi juga tidak bertahan lama, cair dan mudah hilang. Dalam sejarah, banyak pejuang kebebasan dan pendiri perusahaan di awal kemunculan sampai kurun waktu tertentu diidolakan, tetapi tidak jarang mereka berakhir tragis karena gagal membawa kesejahteraan malahan kebangkrutan.

Photo by Melinda Gimpel on Unsplash

Pemimpin dengan kompetensi teknikal-manajerial dianggap memiliki kekhususan dalam bentuk dorongan dan kecerdasan bawaan atau kelihaian berbasis pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang memunculkan kinerja sang pemimpin. Pemimpin kompeten tersebut enerjik, analitik, dan luar biasa produktif. Mereka adalah perencana yang baik, organisatoris, dan pembuat keputusan. Mereka mengambil peran, menentukan arahan yang jelas, mengidentifikasi prioritas strategis, menggerakkan kelembaman, meminggirkan ketidakefektifan, dan memecahkan masalah yang sulit diperbaiki. Karenanya, pemimpin tersebut dianggap banyak pihak dapat memberikan nilai kepada organisasi.

Mitos pemimpin dengan kompetensi teknikal-manajerial retak karena ketiadaan kompetensi moral, emosi, dan relasional yang berbeda dengan kompetensi teknis. Kapasitas moral, emosi dan relasi dibutuhkan ketika tekanan mencapai tahapan kritikal di mana kompetensi tersebut tidak dapat lagi bekerja maksimal. Contoh mutakhir sosok yang mewakili pemimpin teknikal-manajerial,  Elizabeth Holmes CEO Theranos, yang menonjol dan sukses  di usia  muda, berakhir tragis karena melakukan penipuan.

Sementara itu, normal baru digambarkan beroperasi dalam alam liar sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang masih buas karena belum dieksplorasi, belum terpetakan, dan tidak dikenal. Keliaran normal baru membingungkan, berbahaya, menguras emosi; tidak terprediksi dan  menakutkan karena meningkatkan risiko moral, serta memunculkan tantangan melampaui kapabilitas. Kemunculan realitas baru dan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya mengancam keberlangsungan normal lama dengan versi “kepemimpinan yang baik” terkait mitos-mitos kepemimpinan yang telah berakhir. Kepemimpinan efektif normal baru membutuhkan sejumlah aset untuk mengarungi perjalanan karena adanya ancaman keliaran (McCloskey, 2014). Metafor “keliaran” tersebut menjelaskan situasi VUCA.

Berpikir Resiliensi

Menghadapi alam tak bertuan dengan keliaran dan keganasan tanpa mampu memperkirakan dampak ancaman dengan tantangan yang berubah-ubah dan dapat muncul seketika menjadi krisis sebagai bahaya, bencana, resesi,   dan malapetaka yang menghancurkan.  Keteguhan dan ketahanan sangat dibutuhkan. Keteguhan dan ketahananan membuka peluang pulih dari beragam krisis tersebut.

Keteguhan dan ketahanan adalah kapasitas yang sangat diperlukan untuk bangkit keluar menghadapi dan melewati krisis, seperti krisis pandemi Covid-19. Kapasitas tersebut adalah resiliensi.  Kapasitas resiliensi menjadi suatu keharusan karena merupakan kemampuan untuk bangkit kembali dari keterpurukan dan dapat bergerak maju dari kondisi sebelumnya. Resiliensi adalah konsekuensi dari perubahan yang sangat cepat, penuh ketidakpastian, khaotis, kompleks, dan lebih keras (Stoltz, 2004).

Photo by Claudio Hirschberger on Unsplash

Menurut Brian Walter ketika diwawancarai (dalam Journal Ecological Management & Restoration Vol.8, No.2, Agustus 2007), resiliensi memiliki tiga konsep utama. Resiliensi adalah sistem yang adaptif terhadap kondisi yang kompleks (complex adaptive system) atau swaorganisasi (self-organizing), lintasan perubahan sistem bersifat nonlinier mengarah kepada potensi kondisi beragam kestabilan, dan sistem melewati siklus adaptasi sebagai proses berulang:  tumbuh, terkonservasi, hancur dan melakukan reorganisasi.

Profesor Erik Hollnagel, pakar psikologi dan CEO Institute Resilient System +, menyatakan sistem yang tangguh dapat secara efektif menyesuaikan fungsinya sebelum, selama, atau mengikuti perubahan dan gangguan, sehingga terus berkinerja seperti yang diperlukan setelah gangguan atau kecelakaan besar, dan di hadapan tekanan yang terus menerus. Konsep kunci resiliensi adalah “menyesuaikan”, dan “terus berfungsi” di tengah-tengah kehadiran tekanan dan gangguan (dalam Nemeth, Nagel, dan Dekker, 2009).

Hollnagel menambahkan, ada empat landasan teknik atau kemampuan penting terkait resiliensi dan cara merekayasa resiliensi tersebut:

Pertama, tahu apa yang dilakukan, adalah bagaimana merespon disrupsi dan gangguan yang terjadi secara reguler dan tidak reguler dengan melakukan penyesuaian ke fungsi normal. Ini adalah kemampuan menghadapi yang aktual (actual). Suatu sistem harus memiliki serangkaian peristiwa yang jelas yang siap untuk ditanggapi. Rekayasa resiliensi dapat dilakukan dengan menjawap pertanyaan: apa peristiwanya? Bagaimana peristiwa tersebut didefinisikan? Apakah daftar peristiwa tersebut direvisi? Bagaimana kesiapan dipastikan dan dijaga?

Kedua, tahu apa yang dicari, adalah bagaimana memonitor ancaman yang akan terjadi dalam jangka pendek. Monitoring mencakup apa yang terjadi di lingkungan dan apa yang terjadi dalam sistem, seperti kinerja. Ini adalah kemampuan menghadapi yang kritis (critical). Karenanya penting sekali menentukan indikator yang valid dan andal. Rekayasa resiliensi dapat dilakukan dengan menjawab pertanyaan: bagaimana indikator didefinisikan? Kapan indikator tersebut direvisi? Indikator Jenis apa (tidak tersedia atau  banyak tersedia)? Apa yang diukur? Bagaimana dan kapan? Apakah perubahan sementara atau permanen?

Photo by Anastasiia Chepinska on Unsplash

Ketiga, tahu apa yang diharapkan, adalah bagaimana mengantisipasi perkembangan dan ancaman terhadap masa depan seperti disrupsi, tekanan, dan konsekuensinya. Ini adalah kemampuan menghadapi yang potensial (potential). Isu penting adalah model masa depan yang diharapkan. Rekayasa resilensi dapat dilakukan dengan menjawab pertanyaan: apa model masa depan? Seberapa jauh hasilnya/risiko yang berterima? Siapa yang percaya apa dan mengapa?

Keempat, tahu apa yang terjadi, adalah bagaimana belajar dari pengalaman, khususnya belajar yang tepat dari pengalaman baik. Ini adalah kemampuan menghadapi kenyataan (factual). Dalam belajar dari masa lalu penting untuk belajar dari keberhasilan dan kegagalan. Rekayasa resiliensi dapat dilakukan dengan menjawab pertanyaan: apa saja keberhasilan dan kegagalan? Kapan (bersifat terus menerus atau terkait peristiwa)? Bagaimana (kualitatif atau kuantitatif)? Oleh individu atau organisasi?

Kemunculan konsep resiliensi dalam diskursus populer dan profesional dapat dipandang sebagai fungsi yang terkait kebutuhan akan resiliensi karena menguatnya  kecenderungan globalisasi, meningkatnya interdependensi dan kompleksitas, menyebarnya teknologi yang berpotensi membawa bahaya, bentuk baru terorisme, dan perubahan iklim menciptakan ancaman baru dan tidak terbayangkan dalam masyarakat modern. Ancaman tidak dapat diprediksi atau diramalkan tanpa pencegahan dan persiapan sebagaimana pandemik Covid-19 dengan kondisi VUCA.  Konsep resiliensi menjanjikan sebagai jawaban (Boin, Comfort, dan Demchak dalam Comfort dkk., 2010).

Konsep resiliensi tumbuh kokoh di ranah teknik, biologi dan psikiatri. Teknik mengaplikasikan konsep resiliensi ke materi dan sistem teknis. Ahli biologi mempelajari resliensi dari organisme dan sistem kehidupan. Dan ahli psikiatri mencari pemahaman resiliensi individu dan interaksinya dengan sistem sosial. Resiliensi muncul sebagai lapangan kajian. Resiliensi seringkali muncul di kajian krisis dan bencana, lebih matang di kajian organisasi dan  teori kebijakan, dan kajian interdisipliner sistem sosial teknik.

Konsep resiliensi mengalami perkembangan ke berbagai ranah dalam konteks sosial ekologi, yang dapat dijelaskan dalam tabel berikut:

(diadaptasi dari Folke, Brand dan Jax dalam de Bruijne dkk., 2010)

Tiga tipe resiliensi juga muncul dari beragam tinjauan, yaitu resiliensi emosional, resiliensi teknik, dan resiliensi ekosistem. Resiliensi adalah karakter yang melekat kepada orang, organisasi, dan komunitas. Resiliensi teknis adalah atribut sistem yang memungkinkannya kembali ke kestabilan awal secepat-cepatnya. Dan resiliensi ekologi adalah kembali ke keadaan kestabilan yang baru melalui pembelajaran dan adaptasi.

Pemimpin Normal Baru: Beradaptasi dan Resiliensi dalam Kompleksitas

Dalam konteks pandemi Covid-19, pemimpin resiliensi adalah agen/aktor (orang atau organisasi, dapat juga gagasan atau semangat) yang memahami tengah berlangsungnya realitas kompleks sebagai dampak pandemi Covid-19. Mereka menghadapinya dengan bergerak secara dinamis memunculkan keteguhan, dari sebelum krisis (seharusnya), selama krisis dan keluar dari krisis. Pemimpin dengan kapasitas resiliensi tidak hanya melakukan bounce back tetapi lebih dari itu membuka kesempatan ke  bounce forward.

Menghadapi realitas kompleks sepert pandemi, pemimpin membutuhkan wawasan adaptif dan mengubahnya menjadi kapasitas resiliensi menuju normal baru. Empat landasan teknik atau kemampuan penting terkait resiliensi dan cara merekayasa resiliensi Hollnagel dapat menjadi metode.  Pemimpin harus menyadari, kondisi kompleks hanya dapat dilalui dengan beradaptasi. Dalam ranah complexity theory (CT) memanfaatkan konsep complex adaptive system (CAS). CT fokus kepada pola interaksi antara anggota-anggota (agen) dari CAS dan bagaimana interaksi menghasilkan kemampuan adaptasi dan gagasan serta struktur baru. CAS adalah jaringan dari interaksi para agen yang termotivasi oleh ketegangan internal dan eksternal dan bergantung satu sama lain untuk mendapatkan kesesuaian (Marion dan Uhl-Bien dalam Hooijberg, Hunt, dan Antonakis, 2007).

Photo by Austin Distel on Unsplash

Kemampuan pemimpin memunculkan dan memaksimalkan interaksi dapat mendorong partisipasi dan kolaborasi secara lokal ke tingkat tahapan dan tingkatan yang lebih luas dan tinggi, dari organisasi privat maupun publik, dari warga maupun pemerintah, dan dari formal maupun informal, yang akan memunculkan kebaruan yang dapat menjadi terobosan mengatasi kompleksitas pandemi.

CT sendiri adalah ilmu tentang sistem di mana agen/elemen/anggota saling berinteraksi secara kompleks. CT mengeksplorasi sifat interaksi dan adaptasi dalam sistem tersebut dan bagaimana sistem dapat memengaruhi kemunculan (emergence), inovasi (innovation), dan kesesuaian (fitness). CT memfokuskan upaya kepemimpinan pada perilaku yang memungkinkan efektivitas organisasi sebagai kenormalan baru meninggalkan perilaku menentukan atau membimbing efektivitas dalam tradisi normal lama. CT memperluas konseptualisasi kepemimpinan dari perspektif psikologi dan psikologi sosial (hubungan antar manusia) menuju sistem yang dinamis dan interkonektivitas (Marion dan Uhl-Bien, 2001).

Marion dan Uhl-Bien menambahkan, pemimpin harus berurusan dengan kondisi aktivitas organisasi daripada manifestasinya. Karenanya, organisasi harus bersifat transformasional mewadahi kondisi yang diperlukan untuk inovasi, daripada menciptakan inovasi itu sendiri. Para pemimpin menyemai benih inovasi alih-alih memandatkan rencana inovasi. Mereka menciptakan peluang untuk berinteraksi daripada menciptakan ruang kerja yang terisolasi dan terkontrol. Mereka berjejaring dan menjadi katalis daripada  mengontrol

Jika di normal lama kepemimpinan berfokus kepada kapasitas karismatik dan kompeten pada sosok (leader-centric) untuk mengarahkan para pihak mencapai tujuan organisasi, maka di normal baru kepemimpinan  adalah kapasitas untuk berjejaring dan mewadahi para pihak bersama-sama beradaptasi untuk memunculkan keteguhan dan ketangguhan mengatasi kompleksitas pandemi Covid-19.  Pemimpin memfasilitasi kemunculan resiliensi organisasi di lingkungannya di mana organisasi bertransformasi ke keseimbangan baru yang dinamis melalui pembelajaran dan adaptasi.

M. Rahmat Yananda
Author: M. Rahmat Yananda

Rahmat Yananda adalah konsultan city branding menulis buku bersama penulis lainnya berjudul Branding Tempat: Membangun Kota, Kabupaten dan Provinsi Berbasis Identitas (2014). Dia menyelesaikan studi doktornya di FIA-UI meneliti tentang inovasi dan kawasan perkotaan.

Follow us