Mengatasi Intoleransi dengan Cognitive Flexibility

Bagikan ke

Kompleksitas masalah di dunia menjadi tantangan yang akan dihadapi oleh siapa pun. Baru-baru ini muncul isu rasialisme di Minneapolis, Amerika Serikat. Saat itu seorang korban bernama George Floyd meninggal karena diperlakukan dengan tidak layak oleh seorang polisi. Polisi tersebut menekan lututnya di leher George Floyd yang terbaring di jalan sehingga menyebabkan George Floyd tidak bisa bernafas sampai akhirnya dia meninggal.

Masyarakat global menyangkutpautkan kejadian tersebut dengan isu rasialisme karena George Floyd merupakan pria berkulit hitam dan polisi tersebut berkulit putih. Akibatnya, terdapat masyarakat yang memberi respon kecewa dengan merusak fasilitas publik dan ada pula yang memberikan aksi solidaritas atas kematian George Floyd. Bahkan tagar #BlackLivesMatter cukup ramai di media sosial sebagai bentuk solidaritas pula. Bagi siapapun yang menghadapi situasi seperti ini harus menyikapi dengan cognitive flexibility yang baik, sehingga perilaku yang akan ditunjukan dapat mengatasi masalah-masalah intoleransi sekalipun.

Cognitive flexibility bisa diartikan sebagai kemampuan diri memahami dua konsep pemikiran secara bersamaan pada satu masalah. Misalnya, terhadap suatu masalah, kita tidak hanya melihat dari perspektif diri kita saja melainkan juga berdasarkan perspektif orang lain. Perspektif setiap orang secara fenomenologis sangat dipengaruhi oleh akumulasi pengalaman hidupnya, yang akhirnya membuat orang tersebut memaknai setiap masalah berdasarkan apa yang dipelajarinya. Tentunya dengan demikian, cara orang memaknai setiap masalah dengan orang lainnya bisa berbeda-beda. Oleh sebab itu, seseorang dengan cognitive flexibility yang baik akan lebih toleran dengan perbedaan, sedangkan seseorang yang bertindak sebaliknya disebabkan oleh cognitive inflexibility.

Baca Juga :

Kecerdasan Emosional Seorang Pemimpin

Negosiasi: Hal yang Tidak Terpisahkan dengan Kepemimpinan

Tindakan ekstrim berawal karena Cognitive Inflexibility

Cognitive Inflexibility cenderung membuat seseorang menjadi kaku dalam berpikir. Karena berdasarkan definisinya, Cognitive Inflexibility yaitu ketidakmampuan seseorang untuk beralih pada satu konsep berpikir ke konsep berpikir lainnya sehingga mengalami kesulitan beradaptasi dengan perubahan. Hal ini bisa disebabkan karena etnosentris, xenophobia, kebencian berdasarkan agama, fanatisme politik maupun ideologi, dan bahkan hooliganisme pendukung tim olahraga. Akibat yang terjadi dapat berupa tindakan-tindakan ekstrim seperti vandalisme yang terjadi di Amerika Serikat sebagai buntut dari isu rasialisme atas kematian George Floyd, misalnya. Berdasarkan hal tersebut menurut laporan CNBC, banyak restoran dan usaha pedagang eceran yang harus kembali membangun ulang usahanya karena dirusak oleh mereka yang melakukan aksi protes dengan berlebihan. Kita mulai bertanya terhadap aksi protes yang dilakukan tersebut karena mengapa pengusaha restoran ataupun pedagang eceran lainnya yang menjadi menanggung akibatnya? Aksi tersebut sungguh tidak masuk akal. Justru dengan demikian meciptakan masalah baru.

Tindakan preventif dapat dilakukan seperti mengedukasi anak-anak hingga remaja dan masyarakat pada kelompok yang rentan menerima isu sensitif. Tujuan edukasi tersebut untuk meningkatkan cognitive flexibility sehingga mereka menjadi lebih toleran dan mampu menghilangkan hasrat ingin berkonflik. Dengan demikian mereka dapat menyikapi secara bijak isu rasialisme yang sedang ‘panas’ dengan cara-cara seperti aksi yang lebih damai. Bahkan kepolisian di beberapa kota di Amerika Serikat pun kini mulai ikut berdoa bersama, memeluk peserta aksi, dan meminta maaf kepada seluruh peserta aksi. Sungguh sikap yang patut diapresiasi baik dari kepolisian maupun peserta aksi damai. Sikap yang heroik.

Berpikir adaptif dengan memvisualisasikan hal negatif

Manusia seringkali reaktif terhadap hal-hal tidak menyenangkan yang muncul. Reaksi tersebut tentu saja natural. Namun, jika reaksi yang kita lakukan justru merugikan orang lain maka kita harus mengoreksi respon pertama kali dalam pikiran kita. Tentu hal ini perlu adaptasi dengan dilatih secara terus menerus agar bisa menjadi habit yang baik.

Menurut Nick Wignall, berpikir adaptif dengan melakukan visualisasi hal negatif yang akan muncul dapat membantu kita memikirkan respon dan aksi apa yang sebaiknya kita lakukan. Aurorasa Sima pun turut menambahkan bahwa seseorang yang memikirkan dampak (positif) apa yang ia lakukan pertanda bahwa orang tersebut memiliki kecerdasan emosional yang baik. Jadi dengan maraknya isu rasialisme di Amerika Serikat seharusnya kita bisa sikapi dengan bijak.

Baca Juga :

Stoicisme: Mengontrol Stres di Setiap Kondisi

Memimpin di Saat Krisis Bersama Handry Satriago

Isu tersebut bisa menjadi pembelajaran yang baik tentang bagaimana respon perusakan akan berdampak lebih buruk karena mengganggu perekenomian dan rasa aman; di lain hal bagaimana respon penuh belas kasih akan berdampak terbangunnya nuansa yang lebih toleran. Indonesia tentu juga pernah mengalami hal-hal serupa seperti isu rasialisme terhadap suku Papua di Surabaya medio 2019. Konflik yang telah berlalu haruslah menjadi pembelajaran yang baik bagi bangsa di masa kini dan seterusnya. Mari buka cara berpikir kita bahwa perbedaan adalah sesuatu yang mutlak dan merupakan anugerah kehidupan yang Tuhan titipkan untuk kita jaga sebagai umat manusia.

 

Pemimpin.ID
Author: Pemimpin.ID

Pemimpin.id adalah sebuah Gerakan Pemberdayaan Kepemimpinan Indonesia melalui konten dan program kreatif.

Follow us