Tulisan kolaborasi Pemimpin.id x Adam Amrullah (Professional Trainer and Coach)
Kepemimpinan seseorang akan tampak jelas saat dia berhadapan dengan krisis. Saat krisis, seorang pemimpin dituntut menemukan motivasi sebagai alasan untuk bangkit menghadapinya. Lantas, motivasi seperti apa yang perlu disadari oleh para pemimpin Indonesia untuk menghadapi krisis di era normal baru ini?
Keterbukaan informasi sempat menjadi isu yang disoroti oleh publik sejak wabah Covid-19 masuk ke Indonesia. Mengutip Kompas.com, ketika ada dua orang Warga Negara Indonesia (WNI) dinyatakan positif Covid pada awal Maret 2020 lalu, Jokowi lantas melakukan konferensi pers dan menyatakan bahwa pemerintah merahasiakan sejumlah informasi terkait penanganan Covid-19 agar tidak menimbulkan kepanikan.
Pilihan Jokowi untuk mengambil sikap tersebut nyatanya dilandasi oleh motivasi bahwa pemerintah tidak ingin menciptakan perasaan panik dan resah di tengah masyarakat. “Oleh sebab itu, kita memang tidak bersuara,” ungkap Jokowi.
Jajaran Kementerian pun ikut fokus menjaga motivasi tersebut dengan berhati – hati dalam menyebarkan informasi yang berkaitan dengan krisis, termasuk juga Kementerian Kesehatan. Semua hal itu tak lepas dari adanya kesamaan motivasi antarpemimpin di berbagai sektor atau bidang.
Meski seiring berjalannya waktu sikap Jokowi yang menyembunyikan informasi mendapat kritik, sebagai pemimpin, Jokowi memiliki motivasi yang kuat untuk melindungi masyarakat dari kepanikan.
Motivasi dari dalam diri dibutuhkan oleh seorang pemimpin dalam memutuskan sesuatu, terutama sesuatu yang akan berdampak bagi kehidupan banyak orang. Simon Sinek (2009) dalam bukunya yang berjudul Start with Why : how great leaders inspire everyone to take action juga menjelaskan konsep The Golden Circle dalam proses pengambilan keputusan, yang terdiri atas What, How, dan Why. Aspek Why menjadi poin penting yang harus menjadi landasan bagi seorang pemimpin dalam memutuskan sesuatu, termasuk merumuskan kebijakan yang berdampak bagi banyak orang.
Motivasi pemerintah dalam rumusan kebijakan
Dalam proses menghadapi pandemi Covid-19, komunikasi publik yang dilakukan oleh pemerintah nyatanya juga menimbulkan perdebatan di masyarakat. Mengutip detik.com, pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan larangan mudik di tengah pandemi, namun di saat yang sama, transportasi umum jarak jauh justru dibuka. Jokowi pun berdalih bahwa izin operasional moda transportasi tetap dibutuhkan sebagai sarana transportasi beragam kebutuhan penting dengan beberapa prasyarat.
Adapun kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang kemudian dilonggarkan oleh pemerintah menuai banyak kritik lantaran tidak semua daerah di Indonesia cukup siap.
Harian Kompas edisi 9 Juni 2020 memaparkan contoh ketidaksiapan itu tampak dari para pengendara ojek daring yang mulai diperbolehkan membawa penumpang dengan syarat memasang partisi pada kendaraan. Namun, masih saja ada sepeda motor ojek yang belum melengkapi kendaraannya dengan partisi. Sejumlah penumpang bahkan masih menggunakan helm milik pengemudi.
Sama halnya dengan angkutan kota (angkot) yang belum siap mematuhi protokol kesehatan dengan baik. Sejumlah angkot di Jakarta masih membawa lebih dari lima penumpang atau lebih dari 50% kapasitas angkut kendaraan (10 orang). Seorang penumpang angkot terpaksa menaikinya karena takut terlalu lama menunggu sebab harus mengejar jam kantor.
Wali Kota Bogor, Bima Arya saat meninjau Stasiun Bogor mengatakan ada penambahan pengguna KRL sekitar 10 persen di Stasiun Bogor karena perusahaan di Jakarta sudah mulai membuka kantor sehingga terjadi penumpukan penumpang di stasiun.
Situasi ini sebenarnya ingin memberi gambaran bahwa motivasi yang dibawa oleh pemerintah dalam memutuskan suatu kebijakan nyatanya belum jelas – dan masih sarat akan kepentingan tertentu. Padahal, dalam menghadapi krisis seperti ini, pemimpin, dalam hal ini pemerintah dan jajarannya perlu memiliki motivasi yang sama, yaitu untuk “menyelamatkan” bangsa dari keterpurukan.
Motivasi seyogianya muncul atas kesadaran penuh yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Sayangnya, dalam konteks kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, motivasi tersebut tidak cukup menonjol. Perumusan kebijakan masih diselimuti oleh adanya kepentingan, seperti misalnya kepentingan politik atau ekonomi atau bahkan mengacu pada asumsi tertentu.
Asumsi saja tidak cukup
Simok Sinek (2009 : 12) menyebutkan bahwa banyak dari kita yang dalam membuat keputusan secara formal akan mengacu pada data yang kita dapat dari hasil survei atau hasil riset pasar. Dalam cara yang lebih informal, hal itu juga biasa kita lakukan seperti bertanya pada teman atau kerabat dengan meminta saran dan perspektif berdasarkan pengalaman (best practice) yang mereka miliki. Terlepas dari proses atau hasil, kita semua tentunya ingin mendapatkan keputusan yang tepat.

Dia juga menjelaskan proses seseorang yang dalam mengambil keputusan menggunakan rasionalitas, selalu menjadikan data dan informasi sebagai kunci. Hal itu nyatanya benar – benar kita lakukan, yakni dengan membaca buku, menghadiri konferensi, mendengarkan podcast, serta bertanya pada teman maupun kolega dengan tujuan untuk mendapatkan banyak data. Dari data tersebut, kita bisa menentukan apa yang harus kita lakukan dan bagaimana kita melakukannya.
Sayangnya, hal yang kerap menjadi masalah adalah kita ada dalam situasi di mana kita mempunyai semua data dan mendapatkan banyak saran baik, tetapi segala sesuatu tetap belum bisa berjalan seperti yang diharapkan. Hal itu tampak dari masih banyaknya perdebatan yang muncul di masyarakat terkait kebijakan yang tidak konsisten dibuat oleh pemerintah.
Simon Sinek menekankan pentingnya kita sebagai seorang pemimpin untuk lebih berhati – hati atas apa yang kita pikir kita tahu. Asumsi, meski berdasarkan hasil penelitian atau bahkan pengalaman masa lalu, tidak dapat dipungkiri dapat membawa kita pada sebuah kekeliruan.
Pandemi Covid – 19 ini memang belum diketahui secara pasti kapan akan berakhir, namun pemerintah harus memiliki alasan kuat yang memotivasi dirinya untuk bangkit. Motivasi tumbuh ketika seseorang tahu mengapa dia harus berbuat sesuatu dan untuk siapa dia berbuat sesuatu.
Konsep Golden Circle dalam merumuskan kebijakan
Seorang pemimpin harus memiliki alasan mendasar atau motivasi tentang mengapa mereka harus melakukan sesuatu. Dalam buku Start with Why, Simon Sinek menjelaskan bahwa kekuatan dari pertanyaan Why bukanlah menggambarkan sebuah pendapat, melainkan bagian dari proses biologis.
Dia menggunakan istilah Golden Circle untuk menjelaskan hal itu. Menurutnya, konsep Golden Circle ini berkaitan erat dengan 3 tingkatan utama dalam otak.

Bagian terluar dari lapisan tersebut atau yang disebut neocortex, berkorespondensi dengan sesuatu yang menyangkut level What. Neocortex membuat manusia mampu berpikir rasional dan analitis. Sementara dua bagian tengah terdiri dari otak limbik, yang membuat manusia mampu menonjolkan perasaannya, seperti rasa percaya atau kesetiaan.
Bagian itu juga yang memengaruhi semua perilaku manusia dan semua pengambilan keputusan. Namun pada dua bagian itu tidak memiliki kapasitas untuk berpikir secara analitis. Lalu bagaimana menjelaskan maksud dari Golden Circle tersebut?
“When we communicate from the outside in, when we communicate WHAT we do first, yes, people can understand vast amounts of complicated information, like facts and features, but it does not drive behavior. But when we communicate from the inside out, we’re talking directly to the part of the brain that controls decision making, and our language part of the brain allows us to rationalize those decisions.” (Sinek, 2009:61-62)
Itulah mengapa penting bagi seorang pemimpin untuk mengelaborasi motivasi awal dari kebijakan yang dirumuskannya. Yang pasti motivasi itu harus sejalan dengan misi yang diperuntukkan bagi banyak orang, secara khusus bagi masyarakat Indonesia.
Dengan mengenali aspek Why, seorang pemimpin pun akan mengambil keputusannya secara sadar karena ada motivasi yang kuat untuk kepentingan seluruh masyarakat Indonesia, bukan hanya kelompok tertentu.
Motivasi mencakup nilai dan misi
Marques dan Dhinam dalam buku Leadership Today (2017 : 319 – 320) ikut menegaskan bahwa organisasi yang tangguh mempunyai pemimpin yang menunjukkan dukungan yang konsisten terhadap misi organisasi.
Melalui kata – kata maupun tindakannya, mereka mampu memvisualisasikan misi tersebut, mengkomunikasikan rencananya secara efektif, dan mendorong keterikatan yang kuat melalui tindakan yang dilakukan. Komitmen itu pun mendorong adanya toleransi yang lebih tinggi terhadap ketidakpastian dan ketekunan dalam menghadapi ancaman.
Sebuah misi secara inheren mengacu pada nilai. Munculnya perubahan positif pun sering dimotivasi dengan mendefinisikan misi yang menganut nilai – nilai dasar organisasi. Individu yang tangguh sering menyatakan bahwa mereka memperoleh kekuatan dalam menghadapi krisis dengan berpegang pada keyakinan bahwa mengatasi kesulitan adalah sepadan dengan nilai atau prinsip-prinsip yang mereka tekankan dengan kuat. (Marques and Dhinam, 2017:320).

Mereka juga mengungkapkan bagaimana seorang pemimpin moral memperkuat value di balik misi organisasinya dan mengintegrasikannya ke dalam perencanaan dan fungsi operasional. Mereka dapat menjadi teladan yang positif dan tangguh, namun tetap berpegang pada nilai – nilai inti dari institusi atau dalam hal ini Keindonesiaan.
Pada akhirnya, motivasi yang muncul dari dalam menjadi poin penting bagi seorang pemimpin dalam memutuskan sesuatu. Motivasi tentu mencakup value atau nilai yang dianggap penting oleh seseorang sehingga perlu untuk dilakukan.
Dalam konteks Keindonesiaan, negara ini memiliki beragam karakter yang muncul karena adanya perbedaan suku, agama, ras, hingga pilihan politik. Namun perbedaan itu semestinya tidak menjadi penghalang, jika para pemimpin mau memfokuskan misinya untuk mengajak semua elemen masyarakat bangkit bersama.
Sebagaimana misi mencakup nilai, pemimpin pun perlu sadar akan nilai luhur yang dimiliki Indonesia sebagai bangsa, yakni kerja sama dan gotong royong. Nilai – nilai inilah yang nantinya bisa mendorong semua komponen masyarakat untuk mau bergerak bagi Indonesia yang lebih baik. Pemerintah Indonesia dan jajarannya pun semestinya mampu menjadikan itu sebagai motivasi, baik lewat komunikasi verbal maupun tindakan.

Author: Pemimpin.ID
Pemimpin.id adalah sebuah Gerakan Pemberdayaan Kepemimpinan Indonesia melalui konten dan program kreatif.