ABSTRAK | Fenomena “numpang nama” atau social loafing sangat lumrah terjadi dalam kerja sama tim. Meskipun begitu, membiasakannya tentu bisa mengganggu performa tim. Menurut Presiden BEM KEMA UNPAD 2020 Riezal Ilham Pratama, masalah ini sebaiknya dilihat dari satu kata kunci: ekspektasi. Pertemuan antara ekspektasi organisasi dan ekspektasi individu dapat menjadi benang merah untuk menangani fenomena “numpang nama”.
Kamu adalah pemimpin sebuah organisasi. Dalam sebuah rapat bersama jajaran staf, beragam program kerja disepakati dan jadwal penyelesaiannya pun jelas terencana. Rapatnya efektif, suasananya santai dan bersahabat, dan semua orang tampak terlibat aktif sambil mengunyah pisang goreng dan bergelas-gelas kopi.
Ilustrasi organisasi yang sehat seperti di atas mungkin pernah kamu alami. Sayangnya, biasanya atmosfer sepositif itu bertahan sebentar saja. Seperti sebuah film horor yang tinggal menunggu waktu untuk memunculkan hantu, organisasi pun kurang lebih sama. Hari demi hari bisa dihitung hingga akhirnya ada anggota organisasi yang berubah jadi “hantu”; mendadak sekadar berbekas sebagai nama tanpa wujud. Batang hidung mereka tak lagi kasatmata, barangkali baru bisa terdeteksi dari mata Risa Saraswati.
Apa yang terjadi? “Numpang nama”. Ini terjadi ketika seorang anggota tim tidak melakukan pekerjaan sesuai deskripsi kerja yang diamanahkan kepadanya. Meski namanya tetap terdaftar di tim tersebut, jasanya tidak.
Pemimpin Indonesia mewawancarai Riezal Ilham Pratama, Presiden BEM KEMA UNPAD 2020, mengenai fenomena ini. “Numpang nama itu … fenomena yang abadi. Selalu dievaluasi, tapi selalu ada.” Rasa-rasanya, memang benar. Dari sekadar kerja kelompok untuk tugas kuliah hingga kerja tim di kantor pun ada saja kasus “numpang nama” di sekitar kita.
Mengapa ini bisa terjadi dan bagaimana cara mengatasinya?
“Numpang Nama”, Apa Itu Sebenarnya?
Dalam ilmu psikologi, perilaku “numpang nama” ini biasa dirujuk dengan istilah social loafing, yang berarti penurunan motivasi dan usaha dari orang yang sedang bekerja dalam kelompok dibanding ketika bekerja sendirian (Karau & Williams, 1993). Fenomena ini mungkin awalnya terkesan tidak wajar, sebab seharusnya sumbangsih individu pada performa kolektif bersifat linear. Misalnya, seperti di soal-soal aljabar ketika SMP, suatu pekerjaan yang dikerjakan oleh empat orang pasti lebih cepat selesai daripada dikerjakan oleh dua orang. Ya, ‘kan?
“Numpang nama” atau social loafing adalah penurunan motivasi dan usaha dari orang yang sedang bekerja dalam kelompok dibanding ketika bekerja sendirian
Sayangnya, perilaku manusia dalam kelompok ternyata tidak linear, sebagaimana yang ditemukan oleh Max Ringelmann pada 1913. Dia menemukan bahwa jika dua orang bisa menarik beban sebesar 100 unit barang secara masing-masing, beban yang mereka tarik bersamaan tidak serta merta jadi 200 unit. Mereka nyatanya hanya mampu menarik 186 unit alias hanya 93%. Performa tim bahkan cenderung terus menurun seiring dengan penambahan anggota. Ketika jumlah orangnya 8, beban yang bisa mereka tarik cuma 392 unit. Artinya, itu di bawah 50% dari 800 unit yang diasumsikan secara linear sanggup dilakukan. Lengkapnya, begini hasil pengamatan Ringelmann:
Sumber: https://www.simplypsychology.org/social-loafing.html
Apa penyebabnya? Menurut Ringelmann, ini terjadi karena dua faktor: kurang koordinasi dan kurang motivasi. Koordinasi terganggu ketika banyaknya orang tidak bisa diantisipasi dengan strategi yang mengakomodasi mereka. Motivasi pun menurun seiring dengan bertambahnya jumlah orang karena ada perasaan “selow.. yang lain pasti udah kerja cukup keras juga kok.”
Faktor Munculnya Perilaku “Numpang Nama”
Presiden BEM KEMA UNPAD 2020 Riezal juga cenderung membagi faktornya ke dalam dua sudut pandang: faktor organisasi dan faktor personal. Kurang lebih sama dengan Ringelmann, faktor organisasi berarti ada masalah dalam koordinasi dan faktor personal merujuk pada motivasi.
“Organisasi yang mengeluhkan para anggota yang ‘numpang nama’,” menurut Riezal, “sebenarnya tengah melakukan otokritik atas sistem manajemen manusianya sendiri.” Dia percaya bahwa, jika pendekatannya benar, organisasi sepatutnya mampu mengorkestrasi setiap komponennya untuk bergerak bersama.
Dari sisi motivasi, Riezal melanjutkan, “Ketika masuk organisasi, mungkin seseorang punya ekspektasi untuk belajar. Namun, ternyata dia malah dapat bagian disuruh-suruh.” Banyaknya gayung yang tak bersambut dari organisasi terhadap visi pribadi anggota menyebabkan terkikisnya motivasi mereka.
“Organisasi yang mengeluhkan para anggota yang ‘numpang nama’,” menurut Riezal, “sebenarnya tengah melakukan otokritik atas sistem manajemen manusianya sendiri.”
Memahami Social Loafing Lebih Dalam melalui Collective Effort Model (CEM)
Kata kunci yang sangat diperhatikan oleh Riezal adalah “ekspektasi”. Maksudnya, setiap calon anggota tentu punya bayangan tersendiri tentang apa yang akan ia capai di organisasi. Ekspektasi ini kemudian menjaga motivasinya selama bekerja dalam tim. Jika ekspektasinya tercapai, motivasi tinggi. Jika ekspektasi tak tercapai, motivasi rendah.
Itu pula yang dikemukakan oleh collective effort model (CEM; Karau & Williams, 1993; Karau & Wilhau, 2020). Model perilaku anggota tim ini mencoba menjelaskan faktor-faktor yang berkontribusi pada motivasi.
Expectancy, instrumentality, dan valence merupakan tiga faktor yang melatari motivasi anggota tim menurut CEM. Expectancy adalah penilaian seseorang terhadap performanya secara pribadi di dalam tim. Instrumentality adalah penilaiannya terhadap seberapa berpengaruh performanya itu kepada hasil yang diperoleh kelompok. Valence adalah penilaiannya terhadap penting-tidaknya suatu tugas yang tengah dikerjakan. Tiga hal ini harus hadir bersamaan. Satu saja luput, motivasi akan turun dan social loafing jadi rentan terjadi.
Misalnya, Budi percaya bahwa ia mampu menginisiasi ajakan kerja sama dengan seorang tokoh besar (expectancy tinggi). Ia kemudian melihat bahwa perannya ini sangat vital bagi keberlangsungan event yang sedang diadakan organisasinya (instrumentality tinggi). Untung saja, Budi juga meyakini bahwa event ini akan membawa dampak yang positif bagi masyarakat; cocok dengan nilai-nilai pribadinya (valence tinggi). Kombinasi situasi ini membuat Budi punya motivasi yang tinggi dan hampir tidak mungkin sekadar “numpang nama” di timnya.
Sebaliknya, kalau ada faktor yang rendah kadarnya dalam diri seseorang, kemungkinannya untuk melakukan social loafing pun meningkat.
Tips Menghadapi Anggota yang “Numpang Nama”
Bagi Riezal, PR-nya berarti tergantung pada pendekatan interpersonal untuk menggali ekspektasi anggota yang sekadar “numpang nama”. “Kita bisa mulai dorong motivasi orang ini, mulai dari ekspektasinya dahulu mengenai perannya di organisasi,” ungkapnya. Jangan-jangan, apa yang dia harapkan dari organisasi tidak terpenuhi sejak awal sehingga tidak memandang hubungannya dengan organisasi secara dua arah. Dia, bisa jadi, merasa diperalat saja di dalam organisasi. Wajar apabila dia menjadi enggan berkontribusi.
Jika ternyata sebabnya bukan pada ekspektasi yang tak terpenuhi, melainkan lebih kepada struktur kerja yang kurang rapi, ada sejumlah tips yang bisa dicoba (Hoffman, 2020):
- Ciptakan pertanggungjawaban secara individual
“Numpang nama” amat rentan terjadi pada kondisi yang ambigu, yaitu ketika pekerjaan dievaluasi secara kelompok. Penyebabnya ialah kesalahan (dan pencapaian) individu tidak langsung terlihat sehingga ada perasaan tidak diawasi.
- Atur deskripsi kerja yang berbeda-beda
Orang-orang yang bersemangat untuk kerja, tetapi kurang inisiatif, pun bisa terjerembap dalam jurang social loafing. Khususnya, pada organisasi yang tidak jelas deskripsi kerjanya. Suatu tugas bisa dikerjakan oleh banyak orang secara berbarengan tanpa pembagian yang sistematis. Dampaknya? Mau tidak mau, pasti ada orang yang tidak kebagian jatah untuk ambil bagian.
- Dorong loyalitas tim
Anggota yang merasa nyaman dengan tim akan lebih mudah untuk terlibat aktif. Maka, tingkatkan engagement setiap anggota kepada sesamanya dan kepada tim secara keseluruhan.
Tentu mengatasi fenomena “numpang nama” atau social loafing ini bukan pekerjaan semalam. Inisiatif perlu digalakkan dari sosok pemimpin, sebab kecil kemungkinannya para social loafers ini yang akan mengabarkan keadaan mereka. Selain inisiatif interpersonal, kerja sama tim berupa sistem pengelolaan sumber daya manusia juga perlu dieksplorasi untuk menghadapi fenomena yang sangat lumrah (tapi sangat mengganggu) ini.
Referensi
Hoffman, R (2020, June 22). Social loafing: Definition, examples and theory. Simply Psychology. https://www.simplypsychology.org/social-loafing.html
Karau, S. J., & Williams, K. D. (1993). Social loafing: A meta-analytic review and theoretical integration. Journal of Personality and Social Psychology, 65(4), 681. https://pdfs.semanticscholar.org/dbfb/3c9153d3aa75d98460e83fa180bc9650d6fd.pdf
Karau, S. J., & Wilhau, A. J. (2020). Social loafing and motivation gains in groups: An integrative review. Individual Motivation Within Groups. 3–51. doi:10.1016/b978-0-12-849867-5.00001-x
Photo by: Katerina Holmes

Author: Pemimpin.ID
Pemimpin.id adalah sebuah Gerakan Pemberdayaan Kepemimpinan Indonesia melalui konten dan program kreatif.