Pemimpin itu harusnya memberdayakan! Tetapi, apa yang harus dilakukan pemimpin agar anggotanya ikut berdaya tanpa melupakan tanggung jawabnya? Mungkin kamu harus tau Empowering Leadership nih!
Apa itu Empowering Leadership?
Empowering leadership atau kepemimpinan yang memberdayakan merupakan gaya kepemimpinan yang mengedepankan pemberdayaan bagi anggotanya. Pemimpin dengan gaya kepemimpinan ini akan berfokus untuk bisa memberdayakan anggotanya dengan cara memberinya motivasi, memahami perilaku dan kemauan anggotanya, serta melibatkan anggotanya di dalam pengambilan keputusan.
Gaya kepemimpinan ini hampir serupa dengan gaya kepemimpinan delegatif, tetapi dalam proses pemberian tanggung jawab pekerjaannya sang pemimpin juga menjelaskan motivasi atau goals yang hendak dicapai dari penyelesaian pekerjaan tersebut. Maka, tidak hanya sebatas pendelegasian tugas semata. Harapannya, anggota akan lebih efektif serta efisien dalam melaksanakan tanggung jawabnya.
Konsep dan Dimensi Empowering Leadership
Terdapat dua konsep yang paling sering digunakan untuk menjelaskan konsep empowering leadership, yaitu dilihat dari sudut pandang sosial struktural dan psikologi.
Menurut Arnold et al. (2000), terdapat lima dimensi dari empowering leadership:
- Leading by Example
dimensi ini merujuk pada serangkaian perilaku pemimpin yang menunjukkan komitmen dalam bekerja baik diri sendiri maupun di dalam tim
- Coaching
dimensi ini berfokus pada cara seorang pemimpin membantu dan mendidik anggota timnya hingga akhirnya mandiri
- Participative Decision Making
dimensi ini merujuk pada seorang pemimpin melibatkan informasi dari anggotanya dalam pengambilan keputusan
- Showing concern
dimensi ini menunjukkan perhatian umum seorang pemimpin untuk kesejahteraan anggota timnya - Informing
dimensi yang terakhir merujuk pada penyebaran informasi perusahaan kepada seluruh karyawan yang dilakukan oleh pemimpin. Misalnya, visi, misi, program kerja, atau informasi penting lainnya
Sedangkan, dari sudut pandang psikologi, menurut Spreitzer (1995), terdapat empat elemen yang mendefinisikan pemberdayaan, yaitu
- Makna
Nilai dari tujuan kerja, biasanya dikaitkan dengan cita-cita atau standar individu - Kompetensi atau efikasi diri (self-efficacy)
Keyakinan individu pada kemampuannya untuk melakukan kegiatan dengan keterampilan yang ia miliki - Determinasi diri
Individu memiliki pilihan dalam memulai dan mengatur tindakan yang hendak dilakukan - Dampak
Tingkat pengaruh yang dapat diberikan individu untuk membuahkan hasil yang strategis, administratif, atau operasional di dalam pekerjaan.
Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan
- Karyawan merasa lebih nyaman dalam bekerja
Pemimpin dengan gaya ini akan lebih menghargai karyawannya. Bukan hanya berdasarkan hasil kerja, tapi juga dari dirinya sendiri sebagai seorang individu. - Kreativitas dan inisiatif karyawan akan lebih tinggi
Pemimpin dengan gaya ini tidak hanya mendelegasikan tugas, tapi juga memberikan kepercayaan penuh dalam penyelesaian pekerjaan - Tingkat keberhasilan pencapaian tujuan akan lebih besar
Selain memberikan kepercayaan penuh dalam pendelegasian tugas, pemimpin juga memberitahu tujuan dari pekerjaan tersebut, sehingga pekerjaan dapat selesai sesuai dengan yang diharapkan/ditargetkan - Meningkatnya komitmen dan loyalitas anggota
Anggota kelompok merasa diberi kepercayaan karena dilibatkan dalam pembuatan keputusan dan merasa dibimbing. Ini membuat karyawan bertahan di dalam perusahaan
Kekurangan
- Menyebabkan anggota baru stres apabila tidak bisa bekerja secara mandiri
Karyawan yang tidak biasa bekerja secara mandiri (harus dituntun perlahan) kurang cocok memiliki pemimpin dengan tipe ini - Terjadi penyalahgunaan kewenangan yang diberikan kepada pihak manajer
Pemberian kebebasan dalam membuat keputusan pekerjaan terkadang membuat beberapa orang menyalahgunakan wewenang tersebut
Contoh
Jika melihat dari dimensi-dimensi empowering leadership, salah satu sikap perusahaan yang dapat menjadi contoh adalah PT Unilever. Perusahaan tersebut berusaha memberikan beberapa fasilitas bagi karyawannya untuk menunjang kenyamanan dan kesejahteraan bagi mereka.
Pertama, perusahaan memberikan sarana melalui program pelatihan dengan tujuan agar karyawannya dapat mengembangan kemampuan yang dimiliki. Selain itu, memberikan fasilitas yang berhubungan dengan kesehatan jasmani, seperti ruang olahraga, ruang bermain, ruang menyusui anak, serta ruang untuk beribadah. Karyawan dapat merasakan pengembangan bukan hanya dari segi karier, tapi juga jasmani dan rohani mereka. Hal tersebut sesuai dengan dimensi showing concern.
Selain itu, pada dimensi coaching, Unilever menerapkan metode filosofi 70-20-10 untuk mengembangkan SDM yang dimiliki, yaitu dengan pembagian 70 persen belajar dengan metode on the job training, 20 persen coaching with line manager, dan 10 persen training. Filosofi ini didokumentasikan di dalam sistem Performance Development Plan (PDP) secara online.
Budaya pembelajar di Unilever tersebut dikembangakan melalui budaya coaching dan budaya sharing knowledge. Budaya coaching diberi nama Building Leaders as Generative Coaches, yaitu para senior manajer Unilever ditempatkan sebagai pembimbing untuk suatu departemen. Sedangkan budaya sharing knowledge dikembangkan melalui kegiatan-kegiatan menarik seperti Learning Award, Retrospect, Share of learning and discussion (SOLAR), dan Good Idea. Perusahaan membuka kemungkinan belajar dari seluruh stakeholder-nya. Salah satu cara yang dilakukan yaitu dengan melakukan survei dan studi shopper understanding dengan pihak ritel dan perusahaan marketing research. Selain itu, Unilever juga selalu mendengar kritik dan saran para konsumennya melalui suara konsumen Unilever.
Referensi
Arnold, J. A., Arad, S., Rhoades, J. A., & Drasgow, F. (2000). The empowering leadership questionnaire: The construction and validation of a new scale for measuring leader behaviors. Journal of Organizational Behavior, 21(3), 249–269.https://doi.org/10.1002/(sici)1099-1379(200005)21:3<249::aid-job10>3.0.co;2-#
Cheong, M., Yammarino, F. J., Dionne, S. D., Spain, S. M., & Tsai, C.-Y. (2018). A review of the effectiveness of empowering leadership. The Leadership Quarterly, 30(1). https://doi.org/10.1016/j.leaqua.2018.08.005
Hao, P., He, W., & Long, L.-R. (2017). Why and when empowering leadership has different effects on employee work performance: The pivotal roles of passion for work and role breadth self-efficacy. Journal of Leadership & Organizational Studies, 25(1), 85–100. https://doi.org/10.1177/1548051817707517
Ismoyo, T. U. (2013). Kepemimpinan: Usaha pemberdayaan pemimpin baru menuju pertumbuhan organisasi berkelanjutan. Humaniora, 4(2), 811. https://doi.org/10.21512/humaniora.v4i2.3509
Kim, M., & Beehr, T. A. (2018). Empowering leadership: Leading people to be present through affective organizational commitment? The International Journal of Human Resource Management, 1–25. https://doi.org/10.1080/09585192.2018.1424017
Windarti, W., & Sukmawati, A. (2016). Faktor-faktor kunci kesuksesan implementasi manajemen pengetahuan pada PT Unilever Indonesia tbk. Jurnal Manajemen Dan Organisasi, 2(1), 13. https://doi.org/10.29244/jmo.v2i1.14193