hari
jam
menit

29 hari menuju 

Lead The Fest 2023

Introduction to Followership – Leader Bukan Siapa-siapa dengan Follower Ampas

Bagikan ke

Perbedaan “Parenting” dua puluh tahun lalu dengan sekarang dijadikan ilustrasi oleh pembicara di webinar yang kuikuti untuk memprediksi ilmu “Followership” di masa depan.

Tulisan ini kubuat berdasarkan presentasi dari Muhsin Budiono dalam sesi Online Learning Sharing tanggal 8 Juni 2020.

Di sela mengikuti training dasar-dasar ngebor, aku ‘kabur’ sebentar untuk ikut webinar pertama dari enam webinar dalam seri “Followership”. Yang membuatku tertarik adalah judulnya. Apa itu “Followership”? Biasanya yang digembar-gemborkan di mana-mana kan Leadership”?

‘Followership’ masih masuk dalam emerging field. Hasil pencarian di Google tentang “Followership” pun juga 13 kali lebih sedikit dari “Leadership”. Banyak yang menganggap remeh “Followership”:

Ga penting. Kan tinggal follow aja sudah jadi follower.

Masuklah analogi “Parenting”. Dulu “Parenting” juga dianggap remeh:

Ga penting. Yaudah tinggal buat anak sudah jadi parent.

 

“Parenting” yang dulu dianggap enggak penting sekarang ada di mana-mana; study tentang “Followership” ini Pak Muhsin katakan akan makin banyak permintaannya di masa depan.

Masih ragu?

Untuk jadi astronot NASA saja, salah satu skill yang diperlukan dan ditulis secara eksplisit adalah “Followership”.

Illustration by: @fcitra. Based on this article from Nasa.
Illustration by: @fcitra. Based on an article from Nasa (https://www.nasa.gov/press-release/thousands-apply-to-join-nasa-s-artemis-generation-beanastronaut)

Studi “Followership” sebenarnya sudah ada sejak tahun 1988 dalam “In Praise of Followers”- Harvard Business Review yang ditulis oleh Robert Kelley. Dengan kondisi bahwa suatu group punya followers yang efektif (seperti apa karakteristiknya ada di bawah), ini yang beliau tulis:

Groups with many leaders can be chaos. Groups with none can be very productive — Robert Kelley

Bidang ilmu ini terus berkembang sampai tahun 2014 lalu terdapat 1st International Followership Symposium.

Followership ada dalam spirit kelas samurai di zaman Edo atau Tokugawa di Jepang. Illustration by @fcitra
Followership ada dalam spirit kelas samurai di zaman Edo atau Tokugawa di Jepang. Illustration by @fcitra

Jejak hubungan leader follower pun ada sepanjang sejarah. Aristotle pernah mengatakan: “He who cannot be a good follower cannot be a leader”. Kelas samurai di zaman Edo atau Tokugawa juga kelas follower yang penting dan berpengaruh.

Kalau mau ditarik lebih jauh lagi ke zaman nabi-nabi, ya agama-agama besar di dunia sekarang ini apalah artinya tanpa ada follower-follower ciamik yang bisa meneruskan ajaran panutan mereka sampai sekarang. Bagaimana kalau follower-nya zonk semua? Enggak bakal bertahan sampai tahun 2020 anno Domini.

Wajar kalau “Followership” ini kalah pamor. Mau kerja, ditanya pengalaman leading. Program-program yang ada juga Leadership” program. Padahal, kalau ditanya:

Apa yang paling dibutuhkan seorang leader?

Ya, follower.

So, why “Followership” now? Bukannya nanti malah ada mental tinggal ngikut?

Ada beberapa sebab:

  • Posisi leader sedikit, follower buanyaaak

Padahal seorang leader butuh followers yang bisa menjalankan instruksi.

Menjalankan instruksi sebagai follower pun tidak semudah ‘tinggal ngikut’. Setidaknya begitu kata 96.7% dari tiga ratus CEO (lihat gambar di bawah). Menurut 66.6% dari mereka, “Leadership” juga TIDAK lebih penting dari “Followership”.

“Followership” penting menurut sebagian besar CEO dalam research oleh Austin Agho, PhD. Illustration is based on presentation by Muhsin Budiono on Online Learning Session

Pengalamanku, orang yang bisa menjalankan instruksi tapi di saat yang sama bisa berpikir independen dan punya inisiatif ini penting. Mau nangis kalau dapat orang-orang yang macam robot atau ‘iya, Bu/Mbak’ tapi kerjaannya enggak benar.

Contoh lain: katakanlah Jacinda Ardern strateginya melawan Covid-19 sudah top; tapi follower-nya yang lima juta penduduk itu enggak mau tetap di rumah dan keras kepala tetap keluyuran. Enggak mungkin New Zealand membuat deklarasi menang terhadap Covid-19.

  • Penelitian traditional tentang “Leadership” berfokus pada bagaimana melatih potential leaders

Let’s face it. Biasanya yang di-training adalah orang-orang itu saja yang dianggap jadi potensial pemimpin. Padahal balik lagi, jumlah follower jauh lebih banyak. Orang-orang ini terus mau dilepas begitu saja?

“Followership” is what the top businesses are now exploring, according to management experts, who say that there is little point in focusing on the person at the top if no one is listening. — The Times

  • Akses ke informasi lebih mudah

Sekarang ini, akses ke data dan informasi mudah. Apalagi zaman sekarang. Bisa saja terbentuk kondisi di mana seorang follower yang milenial atau Gen Z punya akses data atau knowledge lebih banyak dibanding leader yang seorang Gen X atau Boomer. Ini akan bahaya kalau diremehkan atau diabaikan hanya semata karena ia seorang dengan title follower.

  • Kegagalan leadership di berbagai tingkatan

Pada kenyataannya, enggak semua orang yang punya title ‘Leader’ punya kualitas yang bagus sebagai leader.

Tidak jarang aku bertemu leaders yang orang-orang ‘sulit’; kerjaannya berantem atau buat masalah. Orang-orang dari bagian lain jadi malas berhubungan dengan mereka.

Leaders macam seperti ini akan membuat kacau organisasi kalau tidak punya followers yang berkualitas.

Sayangnya, masih banyak resistensi terhadap “Followership”

Resistance to being a ‘Follower’. Illustration by @fcitra based on presentation by Muhsin Budiono
Resistance to being a ‘Follower’. Illustration by @fcitra based on presentation by Muhsin Budiono

Resistensi-resistensi ini timbul karena “Followership” masih dianggap ilmu ‘kelas dua’ dibanding “Leadership”. Seperti uraian-uraian di atas: kalah pamor dengan role sebagai leader dan dianggap ‘mudah’ karena tinggal mengikuti leader.

Selain itu, follower sering terbatas pada label pengikut. Padahal follower adalah sebuah peran — punya tanggung jawab dan pekerjaan. Apa betul orang-orang yang menjalankan suatu fungsi atau peran tidak diurusi karena sibuk mengurusi orang yang ada di puncak pimpinan saja?

Segala macam bias yang ada sekarang membuat role model untuk pemimpin ada banyak; apalagi zaman krisis — banyak orang-orang yang muncul di panggung atau dapat suntikan kepopuleran. Sementara figur follower — kalau ditanya siapa — pasti-orang-orang bingung.

Kalau kupikir-pikir sebenarnya Indonesia punya figur follower terkenal: Patih Gadjah Mada. Apakah Hayam Wuruk, yang naik tahta di usia belasan, bisa membawa Majapahit besar tanpa ada follower tersebut?

Definisi “Followership”

Sudah ngalor-ngidul, sebenarnya apa definisi “Followership”?

Ada macam-macam definisi, baik yang diberikan oleh kamus maupun wikipedia. Tokoh-tokoh “Followership” juga masing-masing punya definisi sendiri. Pak Muhsin memberi definisinya sebagai berikut:

A set of learnable, practicable skills that make me professionally essential to my leader and team mates…

Jadi, “Followership” adalah suatu set skill yang membuat seseorang penting/esensial untuk pemimpin dan rekan satu tim. Nah, tapi set skill ini punya caveat yang sangat penting:

… and also

where leaders regularly create opportunities for me to demonstrate and develop my leadership skills

Leaders yang ada seharusnya menciptakan kesempatan-kesempatan untuk followers mendemonstrasi dan mengembangkan skill sebagai leader. Kesempatan mengembangkan skill sebagai leader ini hendaknya dalam praktek nyata; enggak cuma dalam kelas atau teori.

Robert Kelley menjabarkan beberapa kemungkinan supaya followers dapat kesempatan praktek jadi leader, semua tentu dengan catatan masing-masing:

  • Membentuk group task force kecil tanpa leader di mana tiap anggota dapat bekerja sama dengan supervisi masing-masing
  • Membuat giliran untuk jadi leader
  • Memberi delegasi kepemimpinan pada mereka yang dianggap ‘kroco’
  • Memberi insentif ke follower yang efektif

Seperti apa follower yang efektif?

Menurut Robert Kelley di HBR, follower yang efektif punya beberapa kualitas esensial:

  • Mereka dapat me-manage diri sendiri dengan baik

    Some followers are more effective than others. From In Praise of Followers
    Some followers are more effective than others. From In Praise of Followers (https://hbr.org/1988/11/in-praise-of-followers)
  • Mereka berkomitmen terhadap organisasi dan untuk suatu tujuan, prinsip, atau orang di luar diri mereka sendiri
  • Mereka mengembangkan kompetensi mereka dan fokus pada usaha mereka untuk memberikan impact yang maksimum
  • Mereka berani, jujur, dan kredibel

Follower yang enggak ‘berani’, mental ABS (asal bapak senang), dan pasif macam domba hanya akan mengikuti apa kata leader-nya. Padahal, bagaimana kalau leader-nya korup, melakukan fraud, atau terlibat conflict of interest?

Follower yang efektif akan berani speak-up kalau leader-nya melenceng karena mereka sebenarnya berkedudukan setara: leader dan follower sama-sama bekerja melayani suatu tujuan yang sama (e.g. pencapaian KPI, menjaga reputasi organisasi); bukan follower melayani leader.

Followers do not/should not serve their leader. Leaders and followers serve a common purpose instead. Illustration is based on The Courageous Follower by Ira Chaleff
Followers do not/should not serve their leader. Leaders and followers serve a common purpose instead. Illustration is based on The Courageous Follower by Ira Chaleff

 


Dalam pekerjaan sehari-hari, aku adalah salah satu follower untuk leader-ku, engineering atau project manager. Di sisi lain, aku juga leader untuk kacamata ilmu yang kupegang. Aku pikir, kebanyakan orang memegang dual role serupa: leader di suatu fungsi, dan follower di fungsi lain.

Leader dan follower seperti dua sisi pada sebuah koin; satu tidak akan ada tanpa lainnya. Jadi, tidak salah kalau “Leadership” dan “Followership” harus sama-sama dipelajari atau dimiliki.

Every coin has two sides. Heads or tails? Illustration by @fcitra
Every coin has two sides. Heads-tails; Leader-follower. Illustration by @fcitra

Sebagai penutup untuk tulisan tentang mengenal “Followership”, inilah pesan dari Pak Muhsin untuk semuanya:

Make a difference, even when you’re not the leader

 

 

Artikel ini telah tayang sebelumnya di Medium.

fcitra
Author: fcitra

Follow us