Hari Antikorupsi Sedunia membuat perhatian publik kembali tertuju pada praktik korupsi yang tak kunjung mereda. Alih – alih merasa jera, data tindak pidana korupsi yang kian besarlah yang justru tertera. Parahnya, Kepala Daerah punya kontribusi yang cukup besar dari data yang dihimpun Litbang Kompas edisi 9 Desember 2019. Mengapa demikian?
Hasil penelusuran Litbang Kompas sepanjang tahun 2004 hingga November 2019 menunjukkan sudah ada 121 kepala daerah yang berurusan dengan KPK. Jika dirata-rata, setidaknya dalam 15 tahun terakhir, tiap tahun ada kurang lebih 8 kepala daerah yang ditangkap KPK karena korupsi.
Pertanyaannya adalah mengapa Kepala Daerah yang sejatinya adalah pemimpin seringkali tersandung kasus korupsi?
Banyak yang bilang, mereka sudah jor-joran untuk bisa memenangkan kontestasi politik sebelum akhirnya terpilih. Walhasil, saat sudah menjabat, mereka punya banyak peluang untuk ‘balas dendam’ dalam rangka menarik kembali duit yang sudah mereka ‘bakar’ dalam kontestasi politik.
Catatan Kompas, Kementerian Dalam Negeri pernah mengungkap, untuk mengikuti pemilihan bupati atau wali kota, seorang bakal calon bisa menghabiskan biaya Rp 25 miliar – Rp 30 miliar. Sementara untuk pemilihan gubernur, mereka bisa membakar uang mulai dari ratusan niliar hingga Rp 1 triliun.
Ini juga menjadi pertimbangan para elit politik mengusulkan perubahan sistem pemilihan langsung menjadi tidak langsung. Tujuannya hanya untuk memangkas biaya politik yang sangat tinggi.
Ah, bukannya terlalu buru-buru untuk menyimpulkan biaya politik tinggi sebagai alasan kepala daerah melakukan korupsi?
Sebagian besar responden dalam jajak pendapat Kompas (92%) justru menilai perilaku korupsi muncul karena sikap serakah, mental korup, dan tamak. Tak menutup kemungkinan juga, semua sifat itu terbentuk karena sebuah kebiasaan di masa kecil.

Saya jadi ingat buku Filosofi Teras yang ditulis oleh Henry Manampiring. Filosofi Teras setidaknya mengingatkan manusia akan dua dikotomi kendali, yaitu sesuatu yang bisa dikendalikan oleh manusia dan yang tidak bisa dikendalikan oleh manusia.
Jelas, perilaku korupsi adalah hal yang sangat bisa dikendalikan oleh manusia. Sifat serakah dan tamak ada dalam hati manusia dan itu bisa dilatih secara terus – menerus. Semakin tajam hati nurani manusia karena terus dilatih, semakin minimlah kemungkinan mereka untuk korupsi.
Mantan Petinggi KPK, Abraham Samad tak pernah berhenti untuk menyuarakan kata Integritas ketika berbicara tentang kepemimpinan seseorang. Bagi Abraham Samad, kemampuan seseorang dalam memimpin tidak hanya dilihat dari segi intelektual, tetapi juga spiritualitas dan moral mereka.

Alumni Universitas Hasanuddin ini pun mengamini bahwa integritas perlu pembiasaan sejak dini. Bahkan, kesederhanaan juga menjadi salah satu nilai yang terkandung dalam integritas yang menurutnya perlu dibiasakan.
Baca juga : 9 Ciri Pemimpin Berintegritas Versi Abraham Samad
Itulah mengapa, karakter kepemimpinan mesti dilatih dan dibiasakan sedini mungkin, sesederhana menyisihkan makanan untuk saudara atau teman kita yang saat itu datang terlambat. Tak ada gunanya mengubah sistem, jika mental tangguh dalam diri manusia saja belum terbentuk dan integritas belum dibangun.

Meski Indeks Persepsi Korupsi (IPK) beberapa tahun terakhir menggambarkan posisi Indonesia dalam melawan korupsi sedikit membaik, jika integritas tidak dimiliki oleh seorang pemimpin, itu semua tidak bisa menjamin berkurangnya tindak pidana korupsi di Indonesia. Barangkali Indonesia bisa mencontoh beberapa negara yang sangat ketat dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Bagaimana denganmu? Sudah sejauh mana kamu melatih dirimu untuk memiliki mental tangguh?
Semoga Hari Antikorupsi Sedunia ini menjadi momentum yang baik untuk merefleksikan kepemimpinan di Indonesia. Tak hanya itu, kita juga tergerak untuk terus membenahi diri menjadi pribadi yang memiliki integritas. Salam!

Author: Pemimpin.ID
Pemimpin.id adalah sebuah Gerakan Pemberdayaan Kepemimpinan Indonesia melalui konten dan program kreatif.