Setiap era memiliki zeitgeist (jiwa zaman) tersendiri dan kini kita memasuki era disrupsi. Era disrupsi merupakan fenomena kontemporer dimana masyarakat kian aktif bersosialisasi di dunia maya, terlebih bagi masyarakat Indonesia. Pada Januari 2020 saja angka pengguna internet di Indonesia tercatat sebanyak 175,4 juta dan jumlah koneksi seluler yang tercatat sebanyak 338,2 juta, menariknya angka koneksi seluler tersebut setara dengan 124% dari total populasi Indonesia.
Terlebih ketika kondisi pandemi Covid-19 kebutuhan terhadap internet semakin meningkat. Dilansir oleh The Jakarta Post, Telkomsel melaporkan bahwa terdapat lonjakan sebanyak 16 persen dalam broadband traffic karena masyarakat mengikuti instruksi untuk beraktivitas di rumah saja. Sejalan dengan hal tersebut tentunya informasi menjadi semakin masif bermunculan, bahkan tidak jarang informasi menyesatkan turut muncul di media sosial. Twitter sampai harus menindak tegas 1,5 juta akun yang memanipulasi informasi terkait Covid-19.
Terjadinya manipulasi informasi di dunia maya menandakan bahwa selain kita telah memasuki era disrupsi, kita juga telah memasuki era post-truth. Era dimana fakta-fakta objektif kurang menarik bagi masyarakat; masyarakat lebih menyukai informasi yang memberi afirmasi terhadap keyakinan yang dimilikinya. Kebenaran menjadi dikesampingkan. Kita bisa melihat dengan realita sekarang, teori-teori konspirasi terkait Covid-19 marak bermunculan. Bahkan berdasarkan pemaparan survey dari YouGov dan The Economist bulan Maret 2020 memperlihatkan bahwa 13% orang Amerika percaya bahwa Covid-19 adalah hoaks. Fakta akan bahayanya Covid-19 di berbagai negara dengan jumlah korban yang tidak sedikitpun seperti dikesampingkan. Kita butuh berpikir kritis dalam menerima informasi, sehingga sikap kita akan mencerminkan kebijaksanaan.
Menjadi pemimpin yang berpikir kritis
Pemimpin yang baik haruslah berpikir kritis dalam menggunakan media sosial. Seorang pemimpin harus sadar, ketika dia menggunakan media sosial berarti segala informasi yang muncul berpotensi menjadi konsumsi untuk publik dan dirinya. Maka dari itu, dengan berpikir kritis dia akan memproses informasi sehingga menjadi layak untuk dikonsumsi. Berpikir kritis sangat penting untuk terus dilatih.
Menurut Rosalinda Alfaro-LeFevre, ada sifat-sifat yang dapat dijadikan indikator untuk menentukan apakah seseorang mampu berpikir kritis atau tidak. Berikut ini beberapa contoh indikator seseorang dikatakan dapat berpikir kritis:
- Self-aware
Mengakui bahwa sebuah pemikiran dapat dipengaruhi oleh emosi dan kepentingan pribadi. Bahkan menyadari bahwa pemikiran seseorang dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya; dengan segala kelebihan dan keterbatasan yang dialaminya.
- Genuine
Menunjukkan diri yang autentik sebagaimana nilai kehidupan yang diyakininya.
- Dapat berkomunikasi secara efektif
Menjadi pendengar yang baik dengan menunjukkan pemahaman yang mendalam terhadap orang lain baik pikiran, perasaan, maupun permasalahannya. Selain itu mampu berbicara dan menulis dengan jelas; poin-poin yang diutarakannya tersampaikan kepada orang lain.
- Keingintahuan tinggi
Selalu berusaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
- Analitis dan berwawasan luas
Berpikir sebab-akibat (kausalitas) dengan menelusuri informasi terbaru untuk memperluas pemahamannya.
- Logis dan intuitif
Menyimpulkan sesuatu dengan penuh alasan. Alasan-alasan yang dijabarkan berlandaskan data dan selanjutnya berani menggunakan intuisi berdasarkan pengetahuan yang dimiliki.
- Percaya diri dan tangguh
Menunjukkan keyakinan untuk berpikir dan belajar dalam mengatasi permasalahan.
- Jujur
Menunjukkan integritas diri. Jika salah dalam mengutarakan pemikirannya tidak malu untuk mengakuinya, karena prinsip dirinya adalah mencari kebenaran.
Pada prinsipnya harus kita sadari bersama bahwa tidak selamanya pemikir kritis selalu pada performa ideal. Seseorang bisa saja kemampuan berpikirnya dipengaruhi oleh berbagai pengalaman yang baru saja dialaminya. Selain itu bisa saja seseorang di beberapa kesempatan menunjukkan inkonsistensinya, maka dari itu memaklumi adanya paradoks juga penting bagi seorang pemimpin. Namun ada satu hal yang mutlak harus dipegang oleh seorang pemimpin di situasi paradoks sekalipun, yaitu intensi baik yang tulus. Tidak boleh seorang pemimpin secara sadar ingin memberitakan kebohongan, misalnya. Pemimpin harus menjadi pemutus era post-truth dan bahkan menjadi sumber cerminan kebijaksanaan di mata masyarakat saat pandemi Covid-19.
Kritis dalam membaca
Menurut World Population Review pada tahun 2020 dari sekitar 270 juta Penduduk Indonesia, yang telah terliterasi yaitu sebanyak 93,9%. Namun data yang dipaparkan tersebut, menjelaskan bahwa seseorang yang telah terliterasi artinya adalah orang yang sekedar bisa membaca dan menulis. Seseorang yang bisa membaca tidak menjamin jika orang tersebut dapat membaca secara kritis.
Pemimpin yang kritis harus mampu membaca dengan kritis. Era post-truth menuntut demikian, bayangkan saja jika kita tidak kritis terhadap sebuah informasi. Kita akan mudah terjebak dalam pusaran fake news, misalnya. Lalu bayangkan jika informasi palsu yang kita dapatkan tersebut kita sebarkan kepada orang banyak, tentu ini menyesatkan dan berbahaya. Maka pemimpin harus bijak dalam menyikapi sebuah informasi dengan membaca secara kritis.
Kita bisa melakukan metode Ccitical eading dengan SQ3R (Survey, Question, Read, Recite, dan Review). Metode ini diperkenalkan oleh Francis P. Robinson melalui bukunya yang berjudul Effective Study yang masih relevan digunakan hingga saat ini. Lee G. Hornbrook penulis dari Better Humans memberi penjelasan di masing-masing tahapan metode SQ3R untuk memudahkan kita memahaminya:
- Survey
Langkah pertama survei siapa penulisnya, apa judul, sub-judul, dan sebagainya tanpa membaca isi teks terlebih dahulu. Penting untuk memahami struktur pemikiran pada informasi yang kita baca.
- Question
Langkah kedua adalah menulis pertanyaan untuk setiap sub-judul dalam teks. Misalnya terdapat sub-judul tertulis Critical Thinking, lalu kita memberi catatan pertanyaan “Apa itu Critical Thinking?”. Hal ini bagus untuk menyimpan sub-judul dalam memori kita.
- Reading
Fokus membaca dan hindari distraksi. Selanjutnya lakukan anotasi pada teks, beri penanda khusus jika kita sepakat, tidak sepakat, atau ragu dengan pernyataan dalam teks.
- Recite
Diskusikan yang kita baca dengan teman atau lakukan kontemplasi. Namun, berdiskusi tentang yang kita baca dengan teman akan cukup membantu kita untuk mengingat informasi yang kita baca. Selain itu juga dapat memperdalam pemahaman kita.
- Review
Mengulas seluruh proses tahapan agar kita memiliki pengetahuan baru yang kuat.
Membaca merupakan langkah awal untuk memahami dan menciptakan pengetahuan baru. Dengan pengetahuan kita akan memiliki pendirian, tidak mudah mengikuti arus yang belum kita ketahui kepastiannya. Pasif mengikuti arus sama halnya seperti membaca tapi tidak kritis terhadap isi pesannya. Membaca kritis berarti berpikir kritis. Melalui berpikir kritis kita dapat membantu tidak hanya diri sendiri, namun juga orang lain. Menciptakan pengetahuan yang benar akan menjadi lawan dari segala kebohongan. Kita sebagai pemimpin harus menciptakan dunia kita ini menjadi tempat yang nyaman bagi siapapun tanpa ada tipu daya menyesatkan.
Author: Pemimpin.ID
Pemimpin.id adalah sebuah Gerakan Pemberdayaan Kepemimpinan Indonesia melalui konten dan program kreatif.